Selasa, 17 Mei 2011

Media

Harry Potter memandang sekilas majalah di lantai. Di bagian paling atas tertera nama majalah itu: The Quibbler.

Di majalah itu, ia melihat sesuatu. Harry tertarik dengan sampul gambarnya. Sebelumnya, ia tidak mengenali dengan jelas. Kini ia menyadari gambar itu merupakan gambar karikatur orang yang dikenalnya. Cornelius Fudge. Gambarnya “lumayan buruk,” tulis J.K.Rowling dalam Harry Potter dan Orde Phoenix (2004: 270-274). Harry hanya mengenalinya “dari topi bowler-nya yang bewarna hijau-limau”.

Tapi, ada yang lebih mengesankannya. Ilustrasi itu menggambarkan Fudge tengah digugat sebagai pejabat tertinggi di kementrian: “Salah satu tangan Fudge mencengkram sekantong emas, tangan yang lain mencekik ....”.

Di bawah judul karikatur, berderet judul-judul yang menunjukan isi majalah edisi hari itu..

Korupsi dalam Liga Quidditch

Bagaimana The Tornados Menang

Rahasia Rune Kuno Diungkap

Sirius Black: Kriminalitas atau Korban??

Judul-judul itu mengilustrasikan majalah berita di dunia Harry Potter. Dunia Harry Potter adalah dunia dongeng anak-anak yang berlatar belakang dunia sihir. Di sini masyarakat terbagi dua: masyarakat manusia biasa (disebut dunia Muggle), dan masyarakat yang manusianya berdarah murni penyihir.

Masyarakat para penyihir memiliki kehidupan sebagaimana layaknya masyarakat manusia. Mereka memiliki birokrasi pemerintahan, dengan nama Kementrian Sihir, yang di buku dongeng ini dipimpin Cornelius Fudge.

Mereka memiliki aturan dan hukum dan penjara. Mereka punya pemerintahan dan lembaga-lembaga sosial lain. Masyarakat sihir Harry Potter juga memiliki lembaga media massa. The Quibbler ialah salah satunya. Quibbler menyajikan berbagai informasi aktual tentang pergerakan masyarakat sihir.

Kalau melihat format isinya, majalah The Quibbler termasuk majalah berita sensasional. Informasinya mengandung ketidakakuratan fakta. Majalah ini mendekati pembaca yang membutuhkan informasi-informasi yang menghibur. Pembaca tertentu memerlukan media yang tidak mau berpusing-pusing dengan benar-tidaknya kejadian. Mereka mengonsumsi informasi hanya untuk mengisi waktu luang.

Sensasi itu terlihat ketika Quibbler melaporkan Sirius Black. Buronan politik nomor satu yang kabur dari penjara Azkaban. Azkaban adalah tempat pembuangan (penjara) yang begitu ketat penjagaannya. Para penjaganya ialah para Dementor, mahluk Pelahap Maut tanpa bobot seperti kegelapan malam. Mereka berseliweran di Azkaban. Sirius Black ialah tokoh yang bisa lolos dari sedotan maut Dementor.

Sirius sebenarnya tokoh pahlawan. Ia menjadi korban politik kekuasaan. Sirius adalah tokoh yang dekat dengan Harry Potter. Ia adalah orang tua wali Harry. Ia, bersama Harry Potter, disudutkan politik kementrian – yang telah disusupi anasir jahat Lord Voldemort, Pangeran Kegelapan. Majalah Quibbler lalu memberitakannya.

“Harry membuka majalah dan membaca daftar isinya,” tutur Rowling “Dia menemukan halaman yang dicarinya, dan dengan bersemangat membukanya.” Selain berita, ada karikatur di sana. Tapi, dengan ilustrasi yang agak buruk. Harry tidak melihat Sirius di halaman majalah itu jika tidak ada judulnya. “Sirius sedang berdiri di atas setumpuk tulang manusia dengan tongkat sihir teracung”.

Judul artikel itu berbunyi:

SIRIUS – APAKAH SEHITAM

SEPERTI DIGAMBARKAN?

Pembunuhmassal yang keji

atau sekedar sensansi penyanyi??

Dari judul itu, Harry merasa terkecoh. Ia tidak paham. Ia sampai membaca berkali-kali. “Sejak kapan Sirius menjadi penyanyi?” tanyanya.

Laporan beritanya ialah::

Selama empat belas tahun Sirius Black dipercaya sebagai pembunuh massal dua belas Muggle tak bersalah dan seorang penyihir. Pelariannya yang berani dari Azkaban dua tahun lalu memunculkan perburuan paling besar yang pernah dilakukan Kementrian Sihir. Tak seorang pun dari kita pernah mempertanyakan apakah dia layak ditangkap dan diserahkan lagi kepada para Dementor.

TETAPI LAYAKKAH DIA DITANGKAP KEMBALI?

Beberapa bukti baru yang mengejutkan baru-baru ini muncul. Sirius Black mungkin tidak melakukan kejahatan yang membuatnya dikirim ke Azkaban. Bahkan, kata Doris Purkiss yang tinggal di Arcanthia Way no 18, Little Norton, Black mungkin tidak berada di tempat pembunuhan itu.

“Yang tidak disadari orang-orang adalah, Sirius Black itu nama samaran”, kata Mrs Purkiss. “Pria yang oleh orang-orang dianggap sebagai Sirius Black, sebenarnya adalah Stubby Boardman, penyanyi utama kelompok musik populer The Hobgoblins, yang menarik diri dari kehidupan umum setelah telinganya terkena lemparan lobak dalam konser di Aula Gereja Little Norton hampir lima belas tahun lalu. Saya langsung mengenalinya begitu melihat fotonya di koran. Stubby tak mungkin melakukan tindak kejahatan itu, karena pada hari kejadian dia sedang makan malam romantis berdua dengan saya. Saya telah menulis kepada Menteri Sihir dan berharap beliau memberi Stubby, alias Sirius, pengampunan sepenuhnya hari-hari ini.”

Berita ini pun membuat Harry geleng-geleng kepala. Ia terus-terusan menatap heran halaman majalah. “Mungkin ini hanya lelucon,” pikirnya, “mungkin majalah ini sering memuat artikel-artikel konyol....”

Harry melanjutkan sisa-sisa halamannya. Di banyak halaman itu, pembaca diberi tahu tentang perkembangan aktual yang terjadi di masyarakat Harry Potter: “tuduhan bahwa tim Tutshill Tornados memenangkan Liga Quidditch dengan cara pemerasan, pengrusakan sapu secara ilegal, dan penyiksaan; wawancara dengan penyihir yang menyatakan telah terbang ke bulan dengan Cleansweep Six dan membawa pulang sekantong kodok bulan sebagai bukti.”

Di majalah itu itu tersedia juga tips. Namun, dengan isi dan gaya laporan khas dunia sihir. Ada tulisan mengenai “rune kuno” yang harus dibaca dengan membalikan halaman majalah.

“Menurut majalah itu,” dongeng Rowling, “ kalau kau membalikkan huruf-huruf rune, huruf-huruf it akan bisa dibaca sebagai mantra yang bisa mengubah telingan musuhmu menjadi jeruk mandarin.”

Bagi Harry, saking begitu tak dapat dipercayanya The Quibbler dalam memberitakan kejadian, berita Sirius tadi jadi lebih mengandung kebenaran. Sirius, yang amat jauh dari dunia entertainment, dan diberitakan jadi vokalis utama grup musik The Hobgoblins terasa “cukup masuk akal.”

Kesudahan adegan fungsi media bagi khalayaknya ini dapat disimpulkan melalui percakapan Harry dengan dua sahabatnya, Ron dan Hermione, serta Luna kawan baru mereka yang membawa-bawa Quibbler.

“Ada yang bagus di situ?” tanya Ron ketika Harry menutup majalah itu,

“Tentu saja tidak,” sambar Hermione pedas, sebelum Harry bisa menjawab. “The Quibbler kan sampah, semua orang tahu itu.”

“Maaf,” kata Luna, suaranya mendadak kehilangan nada melamunnya. “Ayahku editornya.”

“Aku – oh,” kata Hermione, tampak malu. “Yah...ada yang menarik... maksudku, cukup...”

Media jurnalistik sudah menjadi barang keseharian di masyarakat kita. Saking kesehariannya, media telah masuk pula dalam kehidupan dongeng Harry Potter – sebuah dongeng anak-anak tentang masyarakat sihir, yang terjual jutaan kopi. Ilustrasi ini menggambarkan dimensi media ketika ada di tangan khalayak. Bagaimana majalah menjadi medium informasi dunia para penyihir, dengan segala segi sensasinya.

Ilustrasi majalah di dongeng Harry Potter ini mendeskripsikan peran dan isi media bagi masyarakatnya.

Kajian ini membahas tentang Media Jurnalistik. Bahasannya terbagi ke dalam uraian beberapa jenis media. Masing-masing media yang dibahas merupakan representasi dari ranah media jurnalistik. Bahasannya terdiri dari dua bagian: Media Cetak dan Media Elektronik. Media Cetak diwakili oleh Surat Kabar dan Majalah. Media Elektronik diwakili oleh Jurnalistik Radio dan Jurnalisme Online. Penamaan jurnalistik pada kedua media elektronik disebabkan oleh sifat mediumnya yang punya keragaman fungsi selain jurnalisme.

Pembahasan masing-masing media dibuat berbeda-beda. Ada yang terfokus kepada wacana sejarah dan perkembangannya, disertai contoh. Ada yang menyertakan bahasan sampai ke masalah teknis pelaporan. Ada pula yang membahasnya sampai ke bahasan struktur organisasi pengolahan pemberitaan.

Pembahasan tentang media telah banyak diuraikan oleh berbagai buku teks. Pada bab ini, selain mengihtisarkan Dasar-Dasar Jurnalistik Media, pembahasannya mencoba mengisi hal-hal yang belum diuraikan secara utuh. Atas dasar itulah, pola bahasan yang berbeda-beda dilakukan.

Peran Media Pers

Sejak era Reformasi meluncur di Indonesia, media bermunculan secara amat tinggi.

Sejak Mei 1998, menurut Serikat Penerbit Suratkabar, jumlah suratkabar melonjak dengan pesat dari sekitar 260 menjadi lebih dari 700. Berbagai media besar melakukan ekspansi. Media massa elektronik ikut meramaikan. Dari 6 siaran televisi nasional bertambah menjadi 11 saluran. Muncul 5 stasiun siaran televisi Metro TV, Trans TV, TV7, Global TV dan Lativi. Berbagai lembaga siaran televisi lokal mulai diajukan pendiriannya. Radio swasta, yang sebelumnya hanya menjadi pe-relay RRI, membuat divisi pemberitaan. Jumlahnya, dari 600 stasiun radio – berdasar data Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI), naik menjadi 800.

Namun demikian, perkembangan itu melahirkan keunikan. Catatan Dewan Pers pada tahun 2002 (dalam hearing di Parlemen, 21/3/02) menyatakan bahwa, dari 1.690 penerbitan SIUPP yang dikeluarkan oleh Deppen pada 1999 ternyata yang “tercatat aktif terbit hanyalah 551 penerbitan pers.” Lalu, pada tahun 2000-2001, terjadi penambahan sebanyak 500 penerbitan baru. Berarti terjadi lagi lonjakan jumlah penerbitan, yakni 1.051. Tapi, “kini tercatat tinggal 591 penerbitan pers yang diketahui masih aktif terbit.”

SEBUAH koran, menurut sejarawan Taufik Abdullah ketika menulis “Pers dan Tumbuhnya Nasionalisme Indonesia” di Majalah Sejarah (1999, No.7), mengubah kebiasaan masyarakat dari tradisi pendengar kabar menjadi tradisi pembaca berita.

Pelbagai kejadian tidak lagi tersiar hanya lewat dongeng mulut ke mulut. Masyarakat diajak berpikir secara teks. Wacana mereka dikerkah ke dalam konteks waktu yang berjalan. Pengetahuan mereka tidak lagi terkurung ruang dan waktu lokal (adat-istiadat setempat). Mereka jadi mengenali suasana kesejamanan dengan daerah lain atau dengan bangsa lain. Tidak lagi terpuruk ke dalam wacana zaman negeri antah-berantah melainkan pada sebuah negeri yang riil. Mereka diajak melakukan perbandingan. Juga, diajak membuat jaringan kultural atau politik dengan berbagai suku lain.

Sebuah media, dengan kata lain, mendorong kesadaran nasional masyarakatnya.

Di sisi lain, juga membuat seseorang betah dengan lingkungannya. Seorang Sunda jadi betah sebagai orang Jawa Barat.

Joseph Straubhaar & Robert Larose (2004: 49) mengumpulkan berbagai teori media. Straubhaar & Larose, mengutip pandangan Charles Wright (1974), menjelaskan bahwa tiap orang ditolong oleh informasi dari untuk surveillance pada lingkungannya. Tanpa perlu pusing mencatat sendiri segala kejadian, yang begitu kompleks dan luas persoalannya, orang terjaga pada apa yang tengah berkecamuk di sekitarnya. Oleh media, segala peristiwa telah dikemas demikian rupa jelujuran duduk perkaranya (interpretation). Orang tinggal beli, baca, dan pahami lembar demi lembar koran di hadapannya. Orang tinggal duduk mencakung menimati siaran berita televisi atau radio, apa yang terjadi di lingkungannya. Bahkan melalui pemberitaan pula, masyarakat kian dikenali dan kian diteguhkan tentang nilai-nilai sosial dan kultural yang berproses di lingkungannya. Lewat tahun demi tahun, sebuah media kerap mengerjakan tugas values socialization, mensosialisasikan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh masyarakat saat ini, sampai para nenek moyang, misalnya, dikenalkan media. Adat istiadat sampai tata krama, sejak jaman dahulu kala, disosialisasikan media. Ini, secara perlahan tapi pasti, mengajegkan generasi demi generasi di sebuah masyarakat dengan ciri-ciri tertentu.

Semua itu tidak muncul begitu saja. Sebuah koran tidak terbit begitu saja. Namun, muncul lewat sejumlah upaya meredaksikan peristiwa demi peristiwa di dalam sebuah pemberitaan. Tumbuh melalui sejumlah orang redaksi, dan lembaga media pemberitaan, yang membuat pemberitaan dan menyebarkannya kepada masyarakat. Ada orang-orang yang menjadi “penjaga gawang” (gatekeeper) informasi yang hendak dan harus diberitakan. Mereka mengatasnamakan kepentingan publik. Mereka melanjutkan hak masyarakat untuk mengetahui segala kejadian yang dilakukan pemerintah atau lembaga-lembaga sosial yang kegiatannya terkait dengan kepentingan masyarakatnya. Mereka adalah orang-orang yang mengolah pemberitaan berdasar tuntutan nilai dan norma masyarakatnya (White, 1949; Shoemaker, 1991; dalam Straubhaar & Larose, 2004: 49).

Mereka menjadi pengerangka kisah peristiwa yang terjadi di masyartakat (frame a story: Atheide, 1974; Gitlin, 1983; dalam Straubhaar & Larose, 2004: 49). Mereka mengonseptualisasikan dan memberi konteks, dan magnitude, segala peristiwa penting dan menarik di masyarakat. Di tiap keping peristiwa, mereka menginterpretasikan segala peristiwa itu, misalnya, ke dalam tata nilai masyarakat.

Dari mana asal kerangka itu dikerjakan? Hal itu berasal dari invisible self-censorship media itu sendiri. Pengamat media Prancis, Pierre Bourdieu (1998, dalam Straubhaar-LaRose, 2004: 44-45) menyatakan, bahwa sekalipun di masyarakat yang beradab nilai freedom of expression, media selalu melakukan kegiatan penyensoran oleh diri sendiri terhadap berbagai pemberitaan. Tiap media memiliki tata nilai mengenai berbagai peristiwa yang bisa-dan-tidak diberitakan, dan melakukan kegiatan pra-edit pada pemberitaan yang hendak dibertakan atau disiarkan. Hal ini tampak, misalnya, dalam fenomena pemberitaan SARA dihindari oleh media-media di Indonesia. Kesadaran akan pluralitas suku, ras, antargolongan, dan agama yang dapat menimbulkan konflik membuat para pemilik dan pengelola media menghindari pemberitaan yang berbau SARA. Masyarakat dinilai memiliki daya selektif exposure, attention, dan perception yang berbeda-beda pada agenda pemberitaan tersebut.

Di sisi lain, self-censorship itu juga bisa muncul dari tingkatan sumber daya manusia yang ada di dalam keredaksian.

Kovach & Rosenstiel misalnya sampai menulis “Why Reporters Won't Tell Us What We Need To Know”, dalam The Washington Monhtly online (Januari/Februari 2001). Kovach dan Rosenstiel menyarankan media jangan hanya mengejar akurasi reportase kampanye, tapi buatlah liputan yang memiliki banyak relevansi dengan khalayak ramai. Tuntutan orang Jawa Barat, misalnya, tidaklah sama dari pemilihan ke pemilihan. Mereka bukan cuma angka-angka perolehan suara. Suara rakyat belum tentu sama dengan suara wakilnya di parlemen.

Ini berarti masyarakat memerlukan liputan tentang bagaimana khalayak memroses suara politik. Bagaimana khalayak menginginkan elit-elit politik mengerjakan sesuatu. Informasi demografis, mengenai sikap atau pendapat atau perilaku khalayak dalam mengikuti kegiatan kampanye berbagai kelompok politik di berbagai tempat, memberikan pengetahuan kepada masyarakat. Dengan begini, media mengejakan peliputan berdasarkan pola komunikasi bottom-up. Model peliputan bottom-up reporting amat diperlukan ketika membuat pelaporan misalnya, pemilihan calon pemimpin di sebuah wilayah. Bahwa pemimpin itu dipilih dan diinginkan rakyatnya, akan menjadi terasa signifikan. Sebab, pemberitaannya tidak melulu berasal dari pemerintah atau parlemen, melainkan dari di mulut rakyat itu sendiri. Dari suara rakyat yang ada di warung kopi, kafe, perumahan tipe 21, kelompok tertentu, organisasi keagamaan atau politik tingkat kecamatan, dan seterusnya. Perasaan, minat, dan sikap mereka akan mengomplitkan pemberitaan. Sekaligus, menampakkan gagasan politik apa, mengapa, dan bagaimana yang tengah terjadi.

Jadi, bukan sekadar pemberitaan calon pemimpin menggagas apa, mengapa, dan bagaimana. Pemberitaan pemilu bukan hanya berisi tentang liputan dana dan waktu kampanye kelompok politik tertentu di satu daerah. Bila begini kejadiannya, the press is moving profoundly in the wrong direction. Untuk itulah, berbagai data dari kantor sensus, departemen tenaga kerja, dan lembaga lain, kerap menolong media. Melalui data-data tersebut, pemberitaan pemilu dapat merefleksikan fakta-fakta pemilu secara lebih komprehensif. Tidak melulu diisi dengan retorika kelompok dan tokoh-tokoh politik yang berkampanye.

Oleh karena itu pula, sebuah media harian mesti rajin mencari feedback dari khalayak ramai. Khalayak di sini bukanlah orang-orang partai atau ormas pendukung. Juga, bukanlah khalayak yang telah terkena pelintiran spin doctor dari petugas humas dan think tank orang atau parpol tertentu.

Dengan kerja macam itulah, media menjadi berfungsi sebagai pelaporan suara dari ladang-ladang kehidupan masyarakat. Dan, dengan gagah perkasa, media dapat menyatakan dirinya "pikiran rakyat" masyarakatnya.

Demokrasi, kebebasan pers, dan kemandirian media: ketiganya memang terkait dengan peran (fungsi) pers di masyarakat. Keadaan sosial ekonomi dan politik masyarakat mempengaruhinya.

Ambil contoh peran pers di masa perang. Perang Dunia II memberi restriksi tertentu kepada tiap media. Di Inggris, banyak pers mendukung kebijakan pemerintah dalam perang tersebut, hanya sedikit yang coba indenpenden. Koran the Times, misalnya, mendukung segala keputusan pemerintah, akan tetalpi koran the Daily Miror masih mencoba menginvestigasi pelbagai peristiwa ekonomi, politik, dan diplomatik Eropa secara mendalam.

Di lini lain, di negara-negara Jerman, Italia, Spanyol, dan Portugal, fasisme telah membuat media tekuk lutut kepada program ideologi negara. Setiap media menjadi wadah penyensoran pemerintah yang ketat. Hal ini dilakukan pula Uni Soviet dalam pengontrolan sistem politik yang berbeda.

Pada intinya, di masa peperangan, segala jenis pengawasan dilakukan terhadap berbagai peliputan berita. Biro-biro (departemen) negara didirikan. Kementrian Informasi Inggris (the British Ministry of Information) dan Kantor Informasi Perang U.S. (the U.S. Office of War Information) diberdayakan sebagai mesin pencipta isu-isu pemberitaan dan propaganda. Di AS, kelembagaan sensor negara mengeluarkan Code of Wartime Practices for American Press, pengaturan kegiatan pers Amerika di masa perang. Di Inggris, koran-koran dengan sukarela menyerahkan segala pemberitaannya untuk disensor pemerintah. Mereka telah mengooptasikan diri untuk berkooperasi.

Keadaan itu hampir mirip dengan peran pers di negara-negara berkembang Dunia Ketiga. Pers diminta menjadi penyalur gambaran yang terkontrol akan urusan-urusan pemerintah. Selain itu, juga berfungsi sebagai pendorong bagi kemelek-hurufan masyarakat. Tekanan-tekanan tertentu diberikan bagi media yang ingin mengembangkan kemandirian sikap dan pendapatnya. Kebebasan pers menjadi satu soal yang selalu harus diperjuangkan oleh para praktisi media.

Pihak-pihak kekuasaan kerap menjadi kekuatan-kekuatan yang menekan pers.***