Jumat, 26 Agustus 2011

Jurnalisme, Politik, Indonesia: dalam Memoar Biografis Mochtar Lubis



David T.Hill kembali meneruskan cerita pers dan politik bagai dua saudara kembar. Masing-masing selalu ingin bergandegan tangan ketika, khususnya, jalan-jalan di sebuah negara atau bangsa. Jika yang satu salah, yang satu akan teriak. Bisa jadi, saat yang satu kepingin iseng, mencolek saudaranya, maka, yang dicolek akan langsung bangun berdiri, dan melotot.

Tapi, dalam buku terbarunya, Jurnalisme dan Politik di Indonesia (2011, YOI, Jakarta), hal itu diangkat Hill dalam kaitan memoar biografis seorang tokoh pers Indonesia: Mochtar Lubis. Tokoh yang tak mungkin bisa di-delete jika orang bicara pers dan politik di Indonesia. Sosoknya hadir begitu kuat di dalam realitas keindonesiaan: dalam sikap dan pemikiran dan tindakannya. Saking kuatnya karakter “pers campur politiknya”, ia pun dijuluki Kepala Granit.

Buku ini memang meriwayatkan hidup seorang pria, yang memiliki sikap dan tindakan “pers campur politik” yang sekeras batu granit. Seorang pria pembangkang. Pria yang tak mau bertekuk lutut pada yang salah. Dan dari pembakangannya, ia berbagi “kebenaran” dengan wartawan lain, pengarang lain,bahkan budaya lain dan negeri-negeri lain.

Tapi, dari pembangkangnya pula, menyeruak kisah Indonesia pada paruh kedua abad duapuluh. “Ketika rakyat Nusantara menjadi bangsa merdeka....ketika praktik jurnalisme kontemporer mengambil bentuk...,” tulis Hill (hlm14). Ketika media cetak dan tokoh-tokohnya tampil: mengendalikan kehidupan politik, pendidikan, kebudayaan, dan memberi arti apa itu Indonesia. Sebuah era: “ketika para pemimpin redaksi media cetak yang berkepribadian kuat menguasai industri dan berbicara langsung kepada pimpinan bangsa, atau ... beradu pendapat dengan para politisi ...”

Pikiran dan tindakan “pers campur politiknya” tercatat sampai jauh. Misal, dalam sejarah pers Indonesia. Ross Eaman[i] (2009: 171-172), dalam Historical Dictionary of Journalism, mencatatnya. Eaman menggambarkan bagaimana pers di Indonesia awalnya digerakkan oleh European news. Pada akhir abad 18, Belanda membuat koran di Indonesia. Setelah mencatat Bataviasche Courant (1816), Medan Prijaji (1907), komunitas Tionghoa-Indonesia mem-binis-kan pers – dengan bahasa Melayu-Betawi (Batavian Malay), lalu masa penjajahan Jepang (1942), dan pemunculan pers nasionalis underground press, Eaman menyelipkan nama Mochtar Lubis. “Mochtar Lubis, editor of Indonesia Raya (1949–74), was jailed by both the Sukarno and Suharto governments,” tulis Eaman, dari School of Journalism and Communication at Carleton University di Kanada.

Nama Mochtar Lubis terkait dengan sejarah pers Indonesia, yang sesudah Perang Kemerdekaan, berada dalam cengkraman kendali pemerintah. Dan, cengkeraman itu mengendur, ketika Orde Baru runtuh : “Only since the resignation of Suharto in 1998 has the press begun to acquire a measure of freedom, leading to a rapid growth in news media.”

Dan, perubahan pun terjadi. Dan, riwayat pembangkangan pun kini menjadi tak seheroik lagi. Dan, kisah pemimpin redaksi pun berubah jadi konsumsi komoditas. Seperti menyambung dengan sejumput judul buku Thomas L.Friedmand[ii] (2008): “Hot, Flat, and Crowded” – melanjutkan buku The World Is Flat (2005): bahwa kampung Global manusia kini tak menyediakan tempat bagi heroik, terkecuali punya akses “pasar”. Riwayat pembangkangan Mochtar Lubis menjadi berbeda jika dibandingkan dengan pembangkangan di awal abad 21 kini.

Kini, jurnalisme ialah ranah komunikasi yang telah terdiferensiasi. Pelbagai bidang kehidupan sosial, dan disiplin keilmuan sosial, telah ikut mengembangkannya. Hal ini, misalnya, dapat ditelusuri melalui penjelasan yang dinyatakan Brian McNair, lewat judul What Is Journalism? (dalam Burgh, ed., 2005: 42)[iii]: Bahwa Jurnalisme kini menjadi punya berbagai bentuk. Bagi segolongan orang, jurnalisme jadi seperangkat keterampilan teknis, semacam keahlian, yang harus dipelajari dan dipraktikkan, sesuai tradisi, selama berabad-abad. Bagi segolongan lain, jurnalisme ialah sebuah profesi yang luhur, yang memiliki seperangkat nilai-nilai etika tertentu, ketika menanggung-jawabi khususnya jalannya demokrasi. Bagi segolongan lain lagi, jurnalisme dianggap sebagai lahan kreatif, sebuah bentukan seni, yang memainkan imajinasi dan kepekaan estetik di dalam mengolah pekerjaan teknis, atau wawancara, secara ringkas.

Fortunately,” simpul McNair: journalism is big enough to contain all of those, and the diverse ambitions of those thousands of students now preparing for journalistic careers. They, and their audiences, will define in the end what journalism is going to be in the twenty-first century.

Pada esensinya, di dalam perkembangannya kini, McNair melihat jurnalisme sebagai ’mediated reality’ to highlight the fact. Jurnalisme, di sini, ialah menjadi agen manufaktur “sebuah kenyataan”, yang bukan “kenyataan” itu sendiri, yang tumbuh dari kebutuhan masyarakat akan “the information marketplace only after a number of production processes have been gone through”. Dalam hal inilah, jurnalisme dipenuhi warna “as a cultural commodity, an art form, an entertainment medium and a mode of political action.” Dan, bisa jadi, menurut McNair, “It can be more than one of those things at the same time.”

Maka itulah, kini riwayat pembangkangan wartawan pun telah jadi kisah audio visual. Riwayat seseorang menjelma jadi selebritas yang dipasarkan, Media, misalnya, telah mengomodikasi[iv] “seseorang” jadi sebuah “barang”. Massa kerap kehilangan pikiran apa yang pantas dikutip dari sebuah riwayat. Tokoh telah jadi “toko-pikiran”.

***

If journalists have power in the constructing of public discourses, how are they taught to use this power?,” tanya Hugo de Burgh ketika mengantar bahasan pemunculan wartawan di berbagai negara di buku yang dieditnya, Making Journalists (2005: 1-21). Mengamati praktik dan profesionalisasi jurnalisme, yang direpresentasikan para wartawan, di banyak negara seperti Cina, Kamerun, India dan Itali, serta AS dan Inggris, ternyata memberi banyak model jurnalisme lintas-pengaruh, dalam proses “they are taught and learnt across the globe.” Perbedaan masyarakat, dari banyak kultur bangsa dan profesional, memperlihatkan adanya pengaruh pendidikan “makes” para wartawan, beserta produk pemberitaan mereka, dan implikasi etis yang memprosesnya, serta tidak sesederhana berbagai asumsi yang selama ini dikaitkan dengan globalisasi media.

Namun, yang jelas, kekuatan para wartawan ini akan dirasakan sekali, “when news reporting can lead to decisions on whether or not to go to war, we are all affected by the power of journalists and how they mediate our world.

Dari sana, teralurlah realitas kesejarahan tertentu di masyarakat.

Realitas kesejarahan pers kemudian memunculkan fenomena “the journalist as pundit”. Brian McNair[v], ketika membahas fenomena Political Communcation dalam realitas masyarakat Amerika., dengan memakai pendekatan Nimmo and Combs (1992, p.6), menyebutkan istilah pundit kepada posisi wartawan yang melaksanakan kegiatan editorial, columns, feature acticles, dan berbagai variasi format opini lain, seperti: catatan harian dan kartun, yang kebanyakannya membawakan fungsi satirical. Pundit adalah sosok semacam tokoh masyarakat yang dihormati pandangan-pandangannya – yang diambil dari terminologi Sansakerta, pada awal abad 19, fase India modern – dan mengilustrasikan sosok “pencari ilmu (pencerahan) atau pengajar yang tidak hanya memiliki otoritas formal tapi juga memiliki statur figur politis”.

Bagi dunia pers Indonesia, kehadiran Mochtar Lubis mungkin bisa disamakan dengan Walter Lippmann di Amerika: yang mengaksentuasikan sosok ke-“pundit”-an bagi profesi jurnalisme pada awal abad 20. Ia melepas nilai kolektifitas kewartawanan sebagai sekumpulan pekerja yang bertugas hanya menjadi pelapor informasi kepada masyarakat. Namun, ia menjadi sosok yang integritas pandangannya, analisisnya, kepiawaian policy-nya, dan kemampuan khusus lainnya, sangat dihargai di forum-forum diskusi publik.

Dengan kata lain, ia menjadi wartawan-pundit, seseorang yang dapat mempengaruhi masyarakat karena otoritasnya di pelbagai peristiwa politik. Ia berperan sebagai sumber dari kerangka opini dan artikulasi opini, agenda-setting dan agenda-evaluasi. Ia memasuki peran tokoh bijak, yang tahu betul bagaimana mengamati dan mengomentari kejadian-kejadian politik, dan menurunkan keresahan masyarakat akan kerumitan persoalan politik yang tengah terjadi.

Dan dalam kaitan perkembangan jurnalisme, pemunculan ke-“pundit”-an jurnalisme ini terkait dengan motif “perjuangan atau jihad”, dan “pendedahan”. Ruang jurnalisme membuka peluang bagi aspek kewartawanan untuk mengembangkan orientasi jihad investigatifnya ke dalam ruang publik: masuk ke dalam political class, terlibat dalam proses pengalian informasi – yang kerap bersifat konfidensial – dan membuat tudingan-tudingan yang amat dihargai masyarakat. Semangat partisan memang kental dibawakan, namun lebih condong akhirnya untuk disebut pembawa aspirasi yang memiliki kredibilitas. Orientasi politik, baik ideologis maupun kepartaian, yang mewarnainya, tidak menghilangkan mereka sebagai pembawa suara “pencerahan” yang otoritatif.

Gambaran sosok wartawan “jihad” macam ini mengisinuasikan tampilan-tampilan tertentu. Ada nilai romantik idealisme jurnalis meraih budaya popularitas. Bukan hanya menampilkan pekerja di sebuah meja tapi juga memerikan kemampuan untuk melaksanakan sebuah keterampilan praktis. Dedikasinya tertuju kepada kepentingan publik, meskipun harus berhadapan dengan kekuasaan dan kejahatan politisi dan para pejabat tinggi yang dapat menghancurkan dan membunuh. Dengan kata lain, mengekpresikan unsur hati yang polos. Sifat heroiknya membawakan misi suci dan petualangan, yang sangat populer pada fase sebelum PD II, yang menyangkut hal-hal menggelikan atau naif. Konsepsi idealisasinya sebenarnya berada dalam proses “selalu ingin ditemukan” seperti awal sebuah fiksi memulai kisah. Dari hal itu pula tumbuh gairah petualangan, di dalam proses mencuri “kejadian-kejadian” atau keterkenalan.

Pada sisi ini, pekerjaan jurnalisme mempunyai akses kepada realitas politik masyarakat.****

Daftar Rujukan

[i] Eaman, Ross (2009). Historical Dictionary of Journalism. Plymouth, UK: The Scarecrow Press, Inc.

[ii] Friedman, Thomas L. (2008). Hot, Flat, and Crowded: WHY WE NEED A GREEN REVOLUTION AND HOW IT CAN RENEW AMERICA. 18 West 18th Street, New York 10011: Farrar, Straus and Giroux.

[iii] Burgh, Hugo de (ed.). (2005). Making Journalists. 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon OX14 4RN: Routledge

[iv] Lihat Vincent Mosco (1996). The Political Economy of Communications: komodifikasi merupakan upaya mengubah data dan fakta menjadi sistem makna yang dipasarkan.

[v] McNair, Brian. (1999). An Introduction to Political Communication, 2nd edition. London, Routledge (Firm)

Selasa, 17 Mei 2011

Media

Harry Potter memandang sekilas majalah di lantai. Di bagian paling atas tertera nama majalah itu: The Quibbler.

Di majalah itu, ia melihat sesuatu. Harry tertarik dengan sampul gambarnya. Sebelumnya, ia tidak mengenali dengan jelas. Kini ia menyadari gambar itu merupakan gambar karikatur orang yang dikenalnya. Cornelius Fudge. Gambarnya “lumayan buruk,” tulis J.K.Rowling dalam Harry Potter dan Orde Phoenix (2004: 270-274). Harry hanya mengenalinya “dari topi bowler-nya yang bewarna hijau-limau”.

Tapi, ada yang lebih mengesankannya. Ilustrasi itu menggambarkan Fudge tengah digugat sebagai pejabat tertinggi di kementrian: “Salah satu tangan Fudge mencengkram sekantong emas, tangan yang lain mencekik ....”.

Di bawah judul karikatur, berderet judul-judul yang menunjukan isi majalah edisi hari itu..

Korupsi dalam Liga Quidditch

Bagaimana The Tornados Menang

Rahasia Rune Kuno Diungkap

Sirius Black: Kriminalitas atau Korban??

Judul-judul itu mengilustrasikan majalah berita di dunia Harry Potter. Dunia Harry Potter adalah dunia dongeng anak-anak yang berlatar belakang dunia sihir. Di sini masyarakat terbagi dua: masyarakat manusia biasa (disebut dunia Muggle), dan masyarakat yang manusianya berdarah murni penyihir.

Masyarakat para penyihir memiliki kehidupan sebagaimana layaknya masyarakat manusia. Mereka memiliki birokrasi pemerintahan, dengan nama Kementrian Sihir, yang di buku dongeng ini dipimpin Cornelius Fudge.

Mereka memiliki aturan dan hukum dan penjara. Mereka punya pemerintahan dan lembaga-lembaga sosial lain. Masyarakat sihir Harry Potter juga memiliki lembaga media massa. The Quibbler ialah salah satunya. Quibbler menyajikan berbagai informasi aktual tentang pergerakan masyarakat sihir.

Kalau melihat format isinya, majalah The Quibbler termasuk majalah berita sensasional. Informasinya mengandung ketidakakuratan fakta. Majalah ini mendekati pembaca yang membutuhkan informasi-informasi yang menghibur. Pembaca tertentu memerlukan media yang tidak mau berpusing-pusing dengan benar-tidaknya kejadian. Mereka mengonsumsi informasi hanya untuk mengisi waktu luang.

Sensasi itu terlihat ketika Quibbler melaporkan Sirius Black. Buronan politik nomor satu yang kabur dari penjara Azkaban. Azkaban adalah tempat pembuangan (penjara) yang begitu ketat penjagaannya. Para penjaganya ialah para Dementor, mahluk Pelahap Maut tanpa bobot seperti kegelapan malam. Mereka berseliweran di Azkaban. Sirius Black ialah tokoh yang bisa lolos dari sedotan maut Dementor.

Sirius sebenarnya tokoh pahlawan. Ia menjadi korban politik kekuasaan. Sirius adalah tokoh yang dekat dengan Harry Potter. Ia adalah orang tua wali Harry. Ia, bersama Harry Potter, disudutkan politik kementrian – yang telah disusupi anasir jahat Lord Voldemort, Pangeran Kegelapan. Majalah Quibbler lalu memberitakannya.

“Harry membuka majalah dan membaca daftar isinya,” tutur Rowling “Dia menemukan halaman yang dicarinya, dan dengan bersemangat membukanya.” Selain berita, ada karikatur di sana. Tapi, dengan ilustrasi yang agak buruk. Harry tidak melihat Sirius di halaman majalah itu jika tidak ada judulnya. “Sirius sedang berdiri di atas setumpuk tulang manusia dengan tongkat sihir teracung”.

Judul artikel itu berbunyi:

SIRIUS – APAKAH SEHITAM

SEPERTI DIGAMBARKAN?

Pembunuhmassal yang keji

atau sekedar sensansi penyanyi??

Dari judul itu, Harry merasa terkecoh. Ia tidak paham. Ia sampai membaca berkali-kali. “Sejak kapan Sirius menjadi penyanyi?” tanyanya.

Laporan beritanya ialah::

Selama empat belas tahun Sirius Black dipercaya sebagai pembunuh massal dua belas Muggle tak bersalah dan seorang penyihir. Pelariannya yang berani dari Azkaban dua tahun lalu memunculkan perburuan paling besar yang pernah dilakukan Kementrian Sihir. Tak seorang pun dari kita pernah mempertanyakan apakah dia layak ditangkap dan diserahkan lagi kepada para Dementor.

TETAPI LAYAKKAH DIA DITANGKAP KEMBALI?

Beberapa bukti baru yang mengejutkan baru-baru ini muncul. Sirius Black mungkin tidak melakukan kejahatan yang membuatnya dikirim ke Azkaban. Bahkan, kata Doris Purkiss yang tinggal di Arcanthia Way no 18, Little Norton, Black mungkin tidak berada di tempat pembunuhan itu.

“Yang tidak disadari orang-orang adalah, Sirius Black itu nama samaran”, kata Mrs Purkiss. “Pria yang oleh orang-orang dianggap sebagai Sirius Black, sebenarnya adalah Stubby Boardman, penyanyi utama kelompok musik populer The Hobgoblins, yang menarik diri dari kehidupan umum setelah telinganya terkena lemparan lobak dalam konser di Aula Gereja Little Norton hampir lima belas tahun lalu. Saya langsung mengenalinya begitu melihat fotonya di koran. Stubby tak mungkin melakukan tindak kejahatan itu, karena pada hari kejadian dia sedang makan malam romantis berdua dengan saya. Saya telah menulis kepada Menteri Sihir dan berharap beliau memberi Stubby, alias Sirius, pengampunan sepenuhnya hari-hari ini.”

Berita ini pun membuat Harry geleng-geleng kepala. Ia terus-terusan menatap heran halaman majalah. “Mungkin ini hanya lelucon,” pikirnya, “mungkin majalah ini sering memuat artikel-artikel konyol....”

Harry melanjutkan sisa-sisa halamannya. Di banyak halaman itu, pembaca diberi tahu tentang perkembangan aktual yang terjadi di masyarakat Harry Potter: “tuduhan bahwa tim Tutshill Tornados memenangkan Liga Quidditch dengan cara pemerasan, pengrusakan sapu secara ilegal, dan penyiksaan; wawancara dengan penyihir yang menyatakan telah terbang ke bulan dengan Cleansweep Six dan membawa pulang sekantong kodok bulan sebagai bukti.”

Di majalah itu itu tersedia juga tips. Namun, dengan isi dan gaya laporan khas dunia sihir. Ada tulisan mengenai “rune kuno” yang harus dibaca dengan membalikan halaman majalah.

“Menurut majalah itu,” dongeng Rowling, “ kalau kau membalikkan huruf-huruf rune, huruf-huruf it akan bisa dibaca sebagai mantra yang bisa mengubah telingan musuhmu menjadi jeruk mandarin.”

Bagi Harry, saking begitu tak dapat dipercayanya The Quibbler dalam memberitakan kejadian, berita Sirius tadi jadi lebih mengandung kebenaran. Sirius, yang amat jauh dari dunia entertainment, dan diberitakan jadi vokalis utama grup musik The Hobgoblins terasa “cukup masuk akal.”

Kesudahan adegan fungsi media bagi khalayaknya ini dapat disimpulkan melalui percakapan Harry dengan dua sahabatnya, Ron dan Hermione, serta Luna kawan baru mereka yang membawa-bawa Quibbler.

“Ada yang bagus di situ?” tanya Ron ketika Harry menutup majalah itu,

“Tentu saja tidak,” sambar Hermione pedas, sebelum Harry bisa menjawab. “The Quibbler kan sampah, semua orang tahu itu.”

“Maaf,” kata Luna, suaranya mendadak kehilangan nada melamunnya. “Ayahku editornya.”

“Aku – oh,” kata Hermione, tampak malu. “Yah...ada yang menarik... maksudku, cukup...”

Media jurnalistik sudah menjadi barang keseharian di masyarakat kita. Saking kesehariannya, media telah masuk pula dalam kehidupan dongeng Harry Potter – sebuah dongeng anak-anak tentang masyarakat sihir, yang terjual jutaan kopi. Ilustrasi ini menggambarkan dimensi media ketika ada di tangan khalayak. Bagaimana majalah menjadi medium informasi dunia para penyihir, dengan segala segi sensasinya.

Ilustrasi majalah di dongeng Harry Potter ini mendeskripsikan peran dan isi media bagi masyarakatnya.

Kajian ini membahas tentang Media Jurnalistik. Bahasannya terbagi ke dalam uraian beberapa jenis media. Masing-masing media yang dibahas merupakan representasi dari ranah media jurnalistik. Bahasannya terdiri dari dua bagian: Media Cetak dan Media Elektronik. Media Cetak diwakili oleh Surat Kabar dan Majalah. Media Elektronik diwakili oleh Jurnalistik Radio dan Jurnalisme Online. Penamaan jurnalistik pada kedua media elektronik disebabkan oleh sifat mediumnya yang punya keragaman fungsi selain jurnalisme.

Pembahasan masing-masing media dibuat berbeda-beda. Ada yang terfokus kepada wacana sejarah dan perkembangannya, disertai contoh. Ada yang menyertakan bahasan sampai ke masalah teknis pelaporan. Ada pula yang membahasnya sampai ke bahasan struktur organisasi pengolahan pemberitaan.

Pembahasan tentang media telah banyak diuraikan oleh berbagai buku teks. Pada bab ini, selain mengihtisarkan Dasar-Dasar Jurnalistik Media, pembahasannya mencoba mengisi hal-hal yang belum diuraikan secara utuh. Atas dasar itulah, pola bahasan yang berbeda-beda dilakukan.

Peran Media Pers

Sejak era Reformasi meluncur di Indonesia, media bermunculan secara amat tinggi.

Sejak Mei 1998, menurut Serikat Penerbit Suratkabar, jumlah suratkabar melonjak dengan pesat dari sekitar 260 menjadi lebih dari 700. Berbagai media besar melakukan ekspansi. Media massa elektronik ikut meramaikan. Dari 6 siaran televisi nasional bertambah menjadi 11 saluran. Muncul 5 stasiun siaran televisi Metro TV, Trans TV, TV7, Global TV dan Lativi. Berbagai lembaga siaran televisi lokal mulai diajukan pendiriannya. Radio swasta, yang sebelumnya hanya menjadi pe-relay RRI, membuat divisi pemberitaan. Jumlahnya, dari 600 stasiun radio – berdasar data Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI), naik menjadi 800.

Namun demikian, perkembangan itu melahirkan keunikan. Catatan Dewan Pers pada tahun 2002 (dalam hearing di Parlemen, 21/3/02) menyatakan bahwa, dari 1.690 penerbitan SIUPP yang dikeluarkan oleh Deppen pada 1999 ternyata yang “tercatat aktif terbit hanyalah 551 penerbitan pers.” Lalu, pada tahun 2000-2001, terjadi penambahan sebanyak 500 penerbitan baru. Berarti terjadi lagi lonjakan jumlah penerbitan, yakni 1.051. Tapi, “kini tercatat tinggal 591 penerbitan pers yang diketahui masih aktif terbit.”

SEBUAH koran, menurut sejarawan Taufik Abdullah ketika menulis “Pers dan Tumbuhnya Nasionalisme Indonesia” di Majalah Sejarah (1999, No.7), mengubah kebiasaan masyarakat dari tradisi pendengar kabar menjadi tradisi pembaca berita.

Pelbagai kejadian tidak lagi tersiar hanya lewat dongeng mulut ke mulut. Masyarakat diajak berpikir secara teks. Wacana mereka dikerkah ke dalam konteks waktu yang berjalan. Pengetahuan mereka tidak lagi terkurung ruang dan waktu lokal (adat-istiadat setempat). Mereka jadi mengenali suasana kesejamanan dengan daerah lain atau dengan bangsa lain. Tidak lagi terpuruk ke dalam wacana zaman negeri antah-berantah melainkan pada sebuah negeri yang riil. Mereka diajak melakukan perbandingan. Juga, diajak membuat jaringan kultural atau politik dengan berbagai suku lain.

Sebuah media, dengan kata lain, mendorong kesadaran nasional masyarakatnya.

Di sisi lain, juga membuat seseorang betah dengan lingkungannya. Seorang Sunda jadi betah sebagai orang Jawa Barat.

Joseph Straubhaar & Robert Larose (2004: 49) mengumpulkan berbagai teori media. Straubhaar & Larose, mengutip pandangan Charles Wright (1974), menjelaskan bahwa tiap orang ditolong oleh informasi dari untuk surveillance pada lingkungannya. Tanpa perlu pusing mencatat sendiri segala kejadian, yang begitu kompleks dan luas persoalannya, orang terjaga pada apa yang tengah berkecamuk di sekitarnya. Oleh media, segala peristiwa telah dikemas demikian rupa jelujuran duduk perkaranya (interpretation). Orang tinggal beli, baca, dan pahami lembar demi lembar koran di hadapannya. Orang tinggal duduk mencakung menimati siaran berita televisi atau radio, apa yang terjadi di lingkungannya. Bahkan melalui pemberitaan pula, masyarakat kian dikenali dan kian diteguhkan tentang nilai-nilai sosial dan kultural yang berproses di lingkungannya. Lewat tahun demi tahun, sebuah media kerap mengerjakan tugas values socialization, mensosialisasikan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh masyarakat saat ini, sampai para nenek moyang, misalnya, dikenalkan media. Adat istiadat sampai tata krama, sejak jaman dahulu kala, disosialisasikan media. Ini, secara perlahan tapi pasti, mengajegkan generasi demi generasi di sebuah masyarakat dengan ciri-ciri tertentu.

Semua itu tidak muncul begitu saja. Sebuah koran tidak terbit begitu saja. Namun, muncul lewat sejumlah upaya meredaksikan peristiwa demi peristiwa di dalam sebuah pemberitaan. Tumbuh melalui sejumlah orang redaksi, dan lembaga media pemberitaan, yang membuat pemberitaan dan menyebarkannya kepada masyarakat. Ada orang-orang yang menjadi “penjaga gawang” (gatekeeper) informasi yang hendak dan harus diberitakan. Mereka mengatasnamakan kepentingan publik. Mereka melanjutkan hak masyarakat untuk mengetahui segala kejadian yang dilakukan pemerintah atau lembaga-lembaga sosial yang kegiatannya terkait dengan kepentingan masyarakatnya. Mereka adalah orang-orang yang mengolah pemberitaan berdasar tuntutan nilai dan norma masyarakatnya (White, 1949; Shoemaker, 1991; dalam Straubhaar & Larose, 2004: 49).

Mereka menjadi pengerangka kisah peristiwa yang terjadi di masyartakat (frame a story: Atheide, 1974; Gitlin, 1983; dalam Straubhaar & Larose, 2004: 49). Mereka mengonseptualisasikan dan memberi konteks, dan magnitude, segala peristiwa penting dan menarik di masyarakat. Di tiap keping peristiwa, mereka menginterpretasikan segala peristiwa itu, misalnya, ke dalam tata nilai masyarakat.

Dari mana asal kerangka itu dikerjakan? Hal itu berasal dari invisible self-censorship media itu sendiri. Pengamat media Prancis, Pierre Bourdieu (1998, dalam Straubhaar-LaRose, 2004: 44-45) menyatakan, bahwa sekalipun di masyarakat yang beradab nilai freedom of expression, media selalu melakukan kegiatan penyensoran oleh diri sendiri terhadap berbagai pemberitaan. Tiap media memiliki tata nilai mengenai berbagai peristiwa yang bisa-dan-tidak diberitakan, dan melakukan kegiatan pra-edit pada pemberitaan yang hendak dibertakan atau disiarkan. Hal ini tampak, misalnya, dalam fenomena pemberitaan SARA dihindari oleh media-media di Indonesia. Kesadaran akan pluralitas suku, ras, antargolongan, dan agama yang dapat menimbulkan konflik membuat para pemilik dan pengelola media menghindari pemberitaan yang berbau SARA. Masyarakat dinilai memiliki daya selektif exposure, attention, dan perception yang berbeda-beda pada agenda pemberitaan tersebut.

Di sisi lain, self-censorship itu juga bisa muncul dari tingkatan sumber daya manusia yang ada di dalam keredaksian.

Kovach & Rosenstiel misalnya sampai menulis “Why Reporters Won't Tell Us What We Need To Know”, dalam The Washington Monhtly online (Januari/Februari 2001). Kovach dan Rosenstiel menyarankan media jangan hanya mengejar akurasi reportase kampanye, tapi buatlah liputan yang memiliki banyak relevansi dengan khalayak ramai. Tuntutan orang Jawa Barat, misalnya, tidaklah sama dari pemilihan ke pemilihan. Mereka bukan cuma angka-angka perolehan suara. Suara rakyat belum tentu sama dengan suara wakilnya di parlemen.

Ini berarti masyarakat memerlukan liputan tentang bagaimana khalayak memroses suara politik. Bagaimana khalayak menginginkan elit-elit politik mengerjakan sesuatu. Informasi demografis, mengenai sikap atau pendapat atau perilaku khalayak dalam mengikuti kegiatan kampanye berbagai kelompok politik di berbagai tempat, memberikan pengetahuan kepada masyarakat. Dengan begini, media mengejakan peliputan berdasarkan pola komunikasi bottom-up. Model peliputan bottom-up reporting amat diperlukan ketika membuat pelaporan misalnya, pemilihan calon pemimpin di sebuah wilayah. Bahwa pemimpin itu dipilih dan diinginkan rakyatnya, akan menjadi terasa signifikan. Sebab, pemberitaannya tidak melulu berasal dari pemerintah atau parlemen, melainkan dari di mulut rakyat itu sendiri. Dari suara rakyat yang ada di warung kopi, kafe, perumahan tipe 21, kelompok tertentu, organisasi keagamaan atau politik tingkat kecamatan, dan seterusnya. Perasaan, minat, dan sikap mereka akan mengomplitkan pemberitaan. Sekaligus, menampakkan gagasan politik apa, mengapa, dan bagaimana yang tengah terjadi.

Jadi, bukan sekadar pemberitaan calon pemimpin menggagas apa, mengapa, dan bagaimana. Pemberitaan pemilu bukan hanya berisi tentang liputan dana dan waktu kampanye kelompok politik tertentu di satu daerah. Bila begini kejadiannya, the press is moving profoundly in the wrong direction. Untuk itulah, berbagai data dari kantor sensus, departemen tenaga kerja, dan lembaga lain, kerap menolong media. Melalui data-data tersebut, pemberitaan pemilu dapat merefleksikan fakta-fakta pemilu secara lebih komprehensif. Tidak melulu diisi dengan retorika kelompok dan tokoh-tokoh politik yang berkampanye.

Oleh karena itu pula, sebuah media harian mesti rajin mencari feedback dari khalayak ramai. Khalayak di sini bukanlah orang-orang partai atau ormas pendukung. Juga, bukanlah khalayak yang telah terkena pelintiran spin doctor dari petugas humas dan think tank orang atau parpol tertentu.

Dengan kerja macam itulah, media menjadi berfungsi sebagai pelaporan suara dari ladang-ladang kehidupan masyarakat. Dan, dengan gagah perkasa, media dapat menyatakan dirinya "pikiran rakyat" masyarakatnya.

Demokrasi, kebebasan pers, dan kemandirian media: ketiganya memang terkait dengan peran (fungsi) pers di masyarakat. Keadaan sosial ekonomi dan politik masyarakat mempengaruhinya.

Ambil contoh peran pers di masa perang. Perang Dunia II memberi restriksi tertentu kepada tiap media. Di Inggris, banyak pers mendukung kebijakan pemerintah dalam perang tersebut, hanya sedikit yang coba indenpenden. Koran the Times, misalnya, mendukung segala keputusan pemerintah, akan tetalpi koran the Daily Miror masih mencoba menginvestigasi pelbagai peristiwa ekonomi, politik, dan diplomatik Eropa secara mendalam.

Di lini lain, di negara-negara Jerman, Italia, Spanyol, dan Portugal, fasisme telah membuat media tekuk lutut kepada program ideologi negara. Setiap media menjadi wadah penyensoran pemerintah yang ketat. Hal ini dilakukan pula Uni Soviet dalam pengontrolan sistem politik yang berbeda.

Pada intinya, di masa peperangan, segala jenis pengawasan dilakukan terhadap berbagai peliputan berita. Biro-biro (departemen) negara didirikan. Kementrian Informasi Inggris (the British Ministry of Information) dan Kantor Informasi Perang U.S. (the U.S. Office of War Information) diberdayakan sebagai mesin pencipta isu-isu pemberitaan dan propaganda. Di AS, kelembagaan sensor negara mengeluarkan Code of Wartime Practices for American Press, pengaturan kegiatan pers Amerika di masa perang. Di Inggris, koran-koran dengan sukarela menyerahkan segala pemberitaannya untuk disensor pemerintah. Mereka telah mengooptasikan diri untuk berkooperasi.

Keadaan itu hampir mirip dengan peran pers di negara-negara berkembang Dunia Ketiga. Pers diminta menjadi penyalur gambaran yang terkontrol akan urusan-urusan pemerintah. Selain itu, juga berfungsi sebagai pendorong bagi kemelek-hurufan masyarakat. Tekanan-tekanan tertentu diberikan bagi media yang ingin mengembangkan kemandirian sikap dan pendapatnya. Kebebasan pers menjadi satu soal yang selalu harus diperjuangkan oleh para praktisi media.

Pihak-pihak kekuasaan kerap menjadi kekuatan-kekuatan yang menekan pers.***

Senin, 25 April 2011

Berita dan Reportase


Ada seseorang kalau tidak salah, namanya Steven Cowan. Dia memberikan studi dan daftar bahwa semangat jangoistik dari pers Amerika, memang sangat berapi-api. Terbawa oleh kemarahan mereka, setelah menyaksikan penyerangan yang menimpa gedung World Trade Center. Sejak itu, saya tidak pernah mau melihat lagi televisi Amerika.

Sampai terakhir saat saya kembali berada di Amerika, saya melihat televisi Amerika hanya untuk mengetahui ramalan cuaca. Sedangkan untuk mengambil berita, saya hanya mengklik saja dari BBC, The Guardian dan The New York Time Online.

Jadi memang ada suatu bias yang berlebihan dari pers Amerika setelah World Trade Center diserang. Terutama jika dilihat dari segi pemberitaan yang disampaikan oleh stasiun televisi Amerika. Bahkan CNN dengan menggunakan satu nota khusus dari presiden direkturnya meminta supaya penggambaran yang baik tentang Taliban dikurangi. Ada datanya pada saya. Tetapi seperti yang saya katakan tadi, banyak oposisi terhadap hal ini. Ketika saya berada di Aneurberg, ada satu panel diskusi yang menarik berlangsung beberapa bulan yang lalu. Tema diskusi tersebut mengkaji tentang bagaimana meliput Islam dan keturunan Arab yang berada di Amerika. Satu kritik diri yang tajam sekali dilakukan oleh para wartawan Amerika, mereka memang mengakui banyak yang salah.

Salah satu yang juga menjadi sasaran kritik adalah harian The New York Times. Ketika terjadi demonstrasi anti-perang yang berlangsung di London, New York Times ternyata tak memberitakan apa-apa. Padahal saat itu, ada 100.000 orang lebih yang melaksanakan demonstrasi anti perang di London.

Tadi malam saya juga baru dapat e-mail (7 November), ketika kemarin terjadi demonstrasi anti perang di New York, disebut jumlahnya 10.000 oleh New York Times. Padahal jumlahnya mencapai angka 100.000. New York Times mengurangi jumlah para demonstran yang anti perang. Tetapi kemudian timbul protes besar-besaran, sehingga juru bicara New York Times terpaksa melihat kembali apa yang terjadi.

Nah, kalau kita lihat ke Indonesia, kita tak lebih baik. Dalam memberitakan pengeboman di Bali, kita terlalu cepat mengambil kesimpulan. Banyak faktor yang mempengaruhi hal itu terjadi karena kita tergesa-gesa atau terbawa oleh emosi ataupun oleh faktor praduga-praduga kita. Lalu terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Ini kutipan dari pandangan seorang tokoh pers Indonesia, Goenawan Mohamad, tentang berita dan kecenderungannya, pada akhir abad 20. (Goenawan Mohamad, 2002, Dalam Diskusi ISAI/Majalah Pantau; Liputan Media Tentang Bali: Mana Jurnalisme Mana Propaganda? 7-8 November 2002, Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta)

Ia memaparkan bagaimana sebuah pemberitaan itu bisa bercampur dengan kepentingan di luar jurnalisme. Ia menanggapi kecenderungan Jinggoistik dari pemberitaan media di Amerika. Pangkal soalnya ialah sikap pemberitaan AS di dalam memberitakan Tragedi Runtuhnya Gedung Menara Kembar World Trade Centre, di New York, pada 11 September 2001. Pemberitaannya menjadi berat sebelah, dengan mengambil sikap seperti seorang Cowboy yang marah hendak membalas dendam musuh-musuhnya.

Dekade 1990-an memang memberi wajah yang berbeda pada jurnalisme Amerika, menurut Downie JR dan Kaiser (hlm. 219-222). Para pemilik menekan wartawan untuk menghasilkan laba. Banyak topik berita penting dihilangkan, berganti kisah-kisah selebritis. Bisnis berita mengakibatkan berita tradisional masuk liang kubur.

Semua itu berubah ketika 11 September 2001, gedung WTC runtuh. Para reporter, editor dan produser media elektronik, para kolumnis dan penyiar, mengambil sikap. Mereka mengenyampingkan pertimbangan komersil. Mereka tergerak untuk membuat pekabaran kepada masyarakat dengan semangat yang hampir musnah sebelumnya, dengan sikap responsibilitas dan upaya pengisahan berita yang berbeda. Para pembaca dan pemirsa mendapatkan liputan yang jarang ada sebelumnya.

Serangan itu memberi efek luar biasa pada berbagai organisasi berita. Mereka kembali melihat demokrasi harus ditegakan. Khalayak berita membutuhkan penjelasan yang detil, komprehensif, informasi yang cerdas. Dan, yang terlebih penting, mereka terhenyak. Tidak lagi bersikap menyalah-nyalahkan pelbagai pihak kepada para pembaca atau pemirsa, dan para konsumen berita. Mereka kembali mencari, seperti jurnalisme di awal tumbuhnya, jawaban apa yang telah terjadi. Serangan dan reaksi masyarakat, yang membingkai wacana publik saat itu, seakan memberi “pandangan baru”, a new look at life.

Hampir semua orang yang terlibat di bisnis berita bekerja secara mengesankan dalam melayani para pembaca dan pemirsanya. Banyak suratkabar menerbitkan edisi ekstra, mengabarkan rincian kisah pada hari-hari itu. Jaringan televisi mengorbankan siaran komersialnya, selama hari-hari itu. Jurnalisme tidak lagi diletakan sebagai alat peraga, uniformly excellent, melaikan kembali kepada alat pentingnya, yaitu melaporkan esensi nilai berita (news values).

Ini berbeda dengan dekade 1980-an dan 1990-an, dimana berbagai organisasi berita AS telah menjadi medium yang lebih lembut, pemalas, dan anehnya tidak diprotes oleh masyarakatnya. Serangan itu kemudian menghentakan fenomena akan pilihan soft dan hard, atau silly dan serious pada soal news values.

Nilai Berita

Nilai Berita (News Values), menurut Downie JR dan Kaiser, merupakan istilah yang tidak mudah didefinisikan. Istilah ini meliputi segala sesuatu yang tidak mudah dikonsepsikan. Ketinggian nilainya tidak mudah untuk dikonkretkan. Nilai berita juga menjadi tambah rumit bila dikaitakan dengan sulitnya mengonsepsi apa yang disebut berita.

Mari kita lihat gambaran berita yang berkembang di Amerika, pada akhir Abad 20, di sebuah kota. Dimulai dengan jam-jam siaran radio, khalayak mendengarkan berita-berita headlines secara staccato (ringkas), seperti hasil skor pertandingan olah raga tadi malam serta laporan harga-harga bahan pokok di pasar-pasar. Berbagai berita komersial stasiun radio itu dibuat dalam keringkasan item-item berita, yang kerap merupakan hasil rekapan-singkat berita koran lokal, ditambah laporan langsung tentang kemacetan di beberapa ruas jalanan kota. Pemberitaan televisi pun terdiri dari sedikit headlines dan pokok-pokok penting dari berita-berita tadi malam. Beberapa stasiun televisi menyajikan beberapa headlines berita dan tambahan wawancara dengan beberapa orang. Tokoh-tokoh beritanya biasanya ialah para entertainers dan beberapa selebritis daripada para pejabat pemerintah atau pakar.

Koran lokal agak lebih variatif. Banyak menampilkan berita-berita lokal, tambah berita lifestyle, olahraga dan keuangan. Ada juga yang menyisipkan berita-berita nasional dan luar negeri. Kebanyakan kisahnya mengetengahkan peristiwa-peristiwa seperti “pendapat/tanggapan seseorang, konprensi pers, keputusan pengadilan, dan pertandingan olahraga. Pada beberapa koran lokal yang baik muncul pemberitaan yang “membuka selubung” sesuatu yang lama (atau sengaja) ditutup-tutupi; informasi yang susah ditemukan dalam publikasi press release atau konperensi pers. Pada beberapa pagi tertentu, beberapa koran yang baik ini mengejutkan pembaca dengan laporan-laporan yang tidak terduga, penuh dengan rincian, dan begitu mendalam.

Sementara itu, para pengguna jaringan berita kabel – seperti CNN, CNBC, ESPN, Fox Cable Newsdan MSNBC – mengikuti berita-berita utama, berupa liputan langsung dan potongan-potongan berita pendek, sepanjang hari itu. Di internet, situs-situs berita juga berloma memasok informasi, dari stok berita lama sampai yang baru terjadi. Beberapa news bulletins mengirimkannya, lewat e-mail, kepada para pelanggannya.

Pada sore hari, televisi lokal melaporkan kisah-kisah lokal yang terjadi di sepanjang hari itu. Di AS, sebelum terjadinya peristiwa WTC, program jaringan berita sore banyak menyuguhi pemirsanya dengan berita-berita softer, semacam berita kesehatan dan feature-feature pendek. Penayangan the prime-time newsmagazines, seperti Dateline dan 20/20, misalnya, memang menyiarkan real news akan tetapi lebih banyak lagi menyiarkan kisah-kisah kriminal, wawancara selebritis, dan semacamnya. Hal ini, dalam kemasan yang berbeda, sejak awal tahun 2000-an, menjamur juga di banyak siaran televisi Indonesia. Banyak paket-paket siaran informasi crime dan celebrity, yang dikelola stasiun televisi ataupun bekerja sama dengan production house swasta, bermunculan di jam-jam tayang prime time.

Demikianlah gambaran news values di berbagai pemberitaan yang mengisi hari-hari masyarakat. Dimanakah nilai berita diletakan?

Elemen Nilai Berita

Beberapa elemen nilai berita, yang mendasari pelaporan kisah berita, ialah: Immediacy, Proximity, Consequence, Conflict, Oddity, Sex, Emotion, Prominence, Suspense, dan Progress. Di dalam sebuah kisah berita, bisa jadi terdapat beberapa elemen yang saling mengisi dan terkait dengan peristiwa yang dilaporkan wartawan.

IMMEDIACY

Immediacy kerap diistilahkan dengan timelines. Artinya terkait dengan kesegeraan peristiwa yang dilaporkan. Sebuah berita sering dinyatakan sebagai laporan dari apa yang baru saja terjadi. Bila peristiwanya terjadi beberapa waktu lalu, hal ini dinamakan sejarah. Unsur waktu amat penting disini.

PROXIMITY

Khalayak berita akan tertarik dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dekatnya, di sekitar kehidupan sehari-harinya. Proximity ialah keterdekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa dalam keseharian hidup mereka. Orang-orang akan tertarik dengan berita-berita yang menyangkut kehidupan mereka, seperti keluarga atau kawan-kawan mereka, atau kota mereka beserta klub-klub olahraga, stasiun, terminal, dan tempat-tempat yang mereka kenali setiap hari.

Melalui unsur ini pula, tergambarkan keberhasilan koran-koran lokal, yang dikelola dengan baik. Mereka mencari perkembangan kota atau propinsi yang menjadi lahan kehidupan terdekat mereka.

CONSEQUENCE

Berita yang merubah kehidupan pembaca adalah berita yang mengandung nilai konsekuensi. Lewat berita kenaikan gaji pegawai negeri, atau kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), masyarakat dengan segera akan mengikutinya karena terkait dengan konsekuensi kalkulasi ekonomi sehari-hari yang harus mereka hadapi. Putusan parlemen yang mengesahkan Banten menjadi sebuah propinsi, dan lepas dari kewilayahan Jawa Barat, akan diperhatikan masyarakat dikarenakan konsekuensi (bagi para penduduk Banten dan sekitarnya) yang akan dihadapi mereka.

CONFLICT

Peristiwa-peristiwa perang, demonstrasi, atau kriminal, merupakan contoh elemen konflik di dalam pemberitaan. Perseteruan antarindividu, antartim atau antarkelompok, sampai antarnegara, merupakan elemen-elemen natural dari berita-berita yang mengandung konflik.

ODDITY

Peristiwa yang tidak-biasa terjadi ialah sesuatu yang akan diperhatikan segera oleh masyarakat. Kelahiran bayi kembar lima, goyang gempa berskala richter tinggi, pencalonan tukang sapu sebagai kandidat calon gubernur, dan sebagainya, merupakan hal-hal yang akan jadi perhatian masyarakat.

SEX

Kerap sex menjadi satu elemen utama dari sebuah pemberitaan. Tapi, sex sering pula menjadi elemen tambahan bagi pemberitaan tertentu, seperti pada berita sports, selebritis, atau kriminal. Berbagai berita artis hiburan banyak dibumbui dengan elemen sex. Berita politik impacthment Presiden Clinton, AS, banyak terkait dengan unsur sex-nya.

EMOTION

Elemen emotion ini kadang dinamakan dengan elemen human interest. Elemen ini menyangkut kisah-kisah yang mengandung kesedihan, kemarahan, simpati, ambisi, cinta, kebencian, kebahagiaan, atau humor. Elemen emotion sama dengan komedi, atau tragedi.

PROMINENCE

Elemen ini adalah unsur yang menjadi dasar istilah “names make news”, nama membuat berita. Ketika seseorang menjadi terkenal, maka ia akan selalu diburu oleh pembuat berita. Unsur keterkenalan ini tidak dibatasi atau hanya ditujukan kepada status VIP semata. Beberapa tempat, pendapat, dan peristiwa termasuk ke dalam elemen ini. Bali, petuah-petuah hidup, dan Hari Raya memiliki elemen keterkenalan yang diperhatikan banyak orang.

SUSPENSE

Elemen ini menunjukkan sesuatu yang ditunggu-tunggu, pada sebuah peristiwa, oleh masyarakat. Adanya ketegangan menunggu pecahnya perang (invansi) AS ke Irak, adalah salah satu contohnya. Namun, elemen ketegangan ini tidak terkait dengan paparan kisah berita yang berujung pada klimaks kemisterian. Kisah berita yang menyampaikan fakta-fakta tetap merupakan hal yang penting. Kejelasan fakta dituntut masyarakat. Penantian masyarakat pada pelaku “Bom Bali” tetap mengandung kejelasan fakta. Namun, ketegangan masyarakat tetap terjadi selama kasus tersebut dilaporkan media, khususnya kepada rincian fakta kejadiannya beserta wacana politik yang membayanginya.

PROGRESS

Elemen ini merupakan elemen “perkembangan” peristiwa yang ditunggu masyarakat. Kesudahan invansi militer AS ke Irak, misalnya, tetap ditunggu masyarakat. Bagaimana masyarakat Irak seusai perang tersebut membangun pemerintahannya adalah elemen berita yang ditunggu masyarakat. Bagaimana upaya negara-negara yang terkena wabah SARS, pemberitaannya masih diminati masyarakat..

Katagori Berita

Berbagai elemen nilai berita itu harus dipaparkan dengan bahasa pelaporan berita. Penulisannya tidaklah sama dengan menulis makalah, laporan pertanggungjawaban, atau hasil rapat. Dalam jurnalistik, ihwal penulisan berita ini punya tempat yang khusus, dalam arti, dibahas secara khusus: melalui karakteristik dan batasan-batasan yang mesti dipenuhinya (bahasan lengkapnya di Bab Bahasa Jurnalistik Indonesia).

Selain itu, terkait pula dengan jenis pemberitaan yang hendak dikontekskan. Pertandingan sepakbola, yang berlangsung malam hari – yang tidak disiarkan secara langsung oleh televisi – yang masih sempat dikerjakan laporannya, tentu saja, akan disampaikan secara hardnews: dengan penekanan pada hasil skor akhir pertandingannya, ditambah jalannya permainan kedua klub yang bertarung. Akan tetapi, hasil hearing di parlemen, yang berlangsung alot tentang RUU Keadaan Darurat Perang, bisa dilaporkan secara feature news: dengan kedalaman dan perluasan berita yang tidak seketat pemaparan hardnews. Dan, di sepanjang hari itu, tentu saja (lagi) punya banyak peristiwa yang mesti diketahui masyarakat. Ada berita olahraga lain, berita tentang kesehatan, dan peristiwa-peristiwa sosial lainnya.

Dalam kaitan itulah, jurnalistik kemudian membakukan beberapa katagori pemberitaan, seperti: hard news, feature, sports, social, interpretive, science, consumer dan financial .

Hard News

Kisah berita ini merupakan desain utama dari sebuah pemberitaan. Isinya menyangkut hal-hal penting yang langsung terkait dengan kehidupan pembaca, pendengar, atau pemirsa. Kisah-kisahnya biasanya adalah hal-hal yang dianggap penting, dan karena itu segera dilaporkan, oleh koran, radio atau televisi dari semenjak peristiwanya terjadi. Pada koran, beritanya diletakan di halaman depan. Pada televisi dan radio, beritanya disiarkan di jam-jam primetime. Pada situs-situs berita internet, laporan langsung di-up load, pada up dating informasi yang mesti segera diketahui masyarakat.

Feature News

Berita feature ialah kisah peristiwa atau situasi yang menimbulkan kegemparan atau imaji-imaji (pencitraan). Peristiwanya bisa jadi bukan termasuk yang teramat penting harus diketahui masyarakat, bahkan berkemungkinan hal-hal yang telah terjadi beberapa waktu lalu.

Kisahnya memang didesain untuk menghibur. Namun, tetap terkait dengan hal-hal yang menjadi perhatian, atau mengandung informasi, bagi khalayak berita. Subyek beritanya mungkin hanya mengisahkan kegemaran orang-orang, tempat-tempat di kota yang telah dilupakan padahal menyimpan nilai sejarah atau kultur, atau kehidupan seorang sukses yang layak diteladani, dan bisa juga orang-orang kelas bawah yang bertahan di sudut-sudut kota yanh kumuh.

Sports News

Berita-berita olahraga bisa masuk ke katagori hard news atau feature. Selain dari, hasil-hasil pertandingan atau perlombaan atau rangkaian kompetisi musiman, pemberitaan juga meliputi berbagai bidang lain yang terkait sports, seperti tokoh-tokoh olahragawan, kehidupan para pemain olahraga yang hendak bertanding, kesiapan-kesiapan kelompok olahraga di dalam masa pelatihan, sampai para penggemar olahraga tertentu yang fanatik.

Social News

Kisah-kisah kehidupan sosial, seperti sport, bisa masuk ke dalam pemberitaan hard atau feature news. Umumnya, meliputi pemberitaan yang terkait dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, dari soal-soal keluarga sampai ke soal perkawinan anak-anak.

Interpretive

Di kisah berita interpretive ini, wartawan berupaya untuk memberi kedalaman analisis, dan melakukan survei, terhadap berbagai hal yang terkait dengan peristiwa yang hendak dilaporkan.

Science

Dalam kisah berita ini, para wartawan berupaya untuk menjelaskan, dalam bahasa berita, ihwal kemajuan perkembangan keilmuan dan teknologi.

Consumer

Para penulis a consumer story ialah para pembantu khalayak yang hendak membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari, baik yang bersifat kebutuhan primer dan sekunder, seperti peralatan rumah tangga sampai asesoris pakaian.

Financial

Para penulis financial news memokus perhatiannya pada bidang-bidang bisnis, komersial atau investasi. Para penulisnya umumnya mempunyai referensi akademis atau kepakaran terhadap subyek-subyek yang dibahasnya..

Piramida Terbalik

Dunia pers memerlukan kompetensi tertentu. Writing Competencies, menurut Katty Yanchef dalam tulisannya The Professional Journalist of the New Millennium (2000), adalah salah satu kemampuan yang diperlukan.

Ini merupakan kemampuan untuk menulis secara akurat, jelas, kredibel, dan valid. Keterampilan menulis ini antara lain mempersyaratkan:

· Kemampuan menulis secara benar dan baik dalam memakai tanda baca, istilah, dan gejala kebahasaan lainnya

· Pengetahuan dan penggunaan kata-kata

· Kemampuan menyusun dan menulis paragraf demi paragraf

· Dan kemampuan penulisan lainnya

Bagi dunia pers, kemampuan ini dipakai untuk melaporkan berita. Berita merupakan salah satu segi penting dari dunia pers. Melalui berita, pers dibutuhkan masyarakat. Berbagai peristiwa diketahui masyarakat. Pers menjadi mata masyarakat untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat itu begitu beragam. Untuk itu, berita diklasifikasikan ke berbagai jenis. Ada berita politik, berita sosial, berita pendidikan, berita ekonomi, berita sastra dan budaya, dan sebagainya.

Segala jenis berita itu disampaikan wartawan melalui teknik penulisan tertentu: teknik penulisan Piramida Terbalik. Model menulis yang mengikuti bentuk segitiga yang terbalik. Bagian atasnya lebar, bagian bawahnya menyempit. Isi berita ditekankan di di bagian Awal. Selanjutnya, semakin ke bawah, menuju bagian akhir, semakin tidak penting, sisipan-sisipan keterangan.

“Bentuk pengisahannya amat kaku, rigid, seperti pelaporan waktu jaman Perang Sipil di Amerika (American Civil War), yang membutuhkan cerita dengan satu paragrap awal (lead ) dari satu atau dua kalimat yang meringkas esensi beritanya,” jelas Edward Jay Friedlander & John Lee, dalam Feature Writing forNewspapers and Magazies: The Pursuit of Excellence (1988: 2-3). Bagian awal berita dibuat ringkas, tipikalnya tidak lebih dari 35 kata. Penulisannya terurut pada nilai pentingnya informasi, berdasarkan urutan peristiwa yang paling penting sampai kepada yang paling tidak penting.

“Informasi di puncak piramid – lead – merupakan informasi yang sangat penting,” kata Friedlander & Lee (hlm: 29) .

Bentuk piramida, yang mengerucut di bagian bawah, membuat wartawan harus segera mengurutkan laporan beritanya. Bagian yang paling atas merupakan ruang penulis untuk ringkasan isi berita (summary statement). Baru setelah itu, dilanjutkan dengan penjelasan. Yakni, pengembangan detil-detil, fakta-fakta, dan hal-hal lain.

Model Piramida Terbalik ini dibuat wartawan Amerika selama mengikuti kejadian Perang Saudara (Sipil). Setiap berita disampaikan melalui baris-baris telegrap, yang gampang terganggu di tiap saatnya. Dalam situasi itu, sangatlah wajar jika wartawan mengirimkan informasi awalnya berdasar ringkasan penting peristiwa. Dan, para jurnalis kini menyebutnya dengan lead berita.

Kini gaya Piramida Terbalik banyak dipakai dalam penulisan berita. Ruang dan waktu media membutuhkan model piramida ini. Ada dua alasan. “Pertama, para pembaca dapat segera mengetahui isi berita dengan membaca lead dan beberapa paragrap awal. Kedua, memudahkan redaktur memotong berita yang terlalu panjang, lewat materi berita yang tidak begitu penting di ujung bagian bawah berita,” jelas Friedlander & Lee.

Dalam Piramida Terbalik, ringkasan pesannya mesti memiliki kelengkapan informasi. Kelengkapan informasi itu mencakup unsur-unsur pemberitaan 5 W + 1 H, yakni: What (peristiwa apa yang diberitakan), Who (siapa saja yang terlibat dengan peristiwa), When (waktu peristiwanya, kapan saja terjadinya), Where (tempat peristiwa berlangsung, dimana saja kejadiannya), Why (mengapa peristiwa tersebut terjadi, faktor-faktor yang menyebabkan peristiwa terjadi), dan How (bagaimana peristiwa tersebut terjadi).

Unsur-unsur ini membuat kisah berita menjadi jelas, terang, dan langsung dipahami masyarakat. Bagian awal Inverted Pyramid, atau lead, biasanya memuat unsur 5 W + 1 H. Ini agar Khalayak segera mengetahui inti peristiwa yang dilaporkan. Setelah itu, barulah keterangan lebih lanjut dari peristiwa-berita tersebut.

Namun, dalam pemberitaan media sekarang, model Piramida lebih banyak dipakai oleh media elektronik. “Waktu dan ruang” siaran radio atau televisi amatlah ketat. Tiap breaking news harus segera disiarkan dialokasi waktu dan ruang siaran yang sempit. Siaran berita di jam-jam tayangan tertentu mengharuskan kemasan berita yang ringkas, pendek, dan cepat. Sifat Piramida Terbalik memenuhi kebutuhan tersebut.

Begitu pun dengan situs berita di Internet. Medium online journalism ini hanya memiliki ruang sebatas layar monitor. Berbagai kejadian aktual mesti segera dilaporkan tiap detiknya. Berbagai sisipan informasi lanjutan disediakan lewat sifat hypertext yang tinggal di-klik oleh para user. Format kesegeraan pesan dan ruang yang terbatas itu dapat diwadahi oleh Piramida Terbalik.

Pemberitaan koran, medium awal pengguna Piramida Terbalik, telah berubah. Berita koran tidak lagi berpendek-pendek, ringkas, seperti breaking news atau straight news. Koran dikalahkan radio, televisi, dan situs berita. Kecepatan pemberitaannya menurun drastis. Kalah cepat dengan media elektronik. Maka itu, pemberitaan koran kini memokus rincian atau detil-detil kelengkapan berita. Pemberitaan depth reporting atau feature story lebih banyak digunakan. Pemberitaan macam ini mengisi kekosongan kedalaman berita yang belum dilaporkan radio dan televisi.

Perkembangan

"Kita sering mengatakan ada masalah di masyarakat, tetapi kita tidak menanyakan ke masyarakat apakah itu memang masalah mereka," tutur Redmond Batario, Presiden dan Direktur Eksekutif Center for Community Journalism and Development di Filipina (Kompas, 19/10/2002)

Ia menyalahkan jurnalisme yang terkena sindrom “good news ialah bad news” – dikarenakan pemberitaan yang ditangkap secara top down, melalui statement para tokoh, celebs, elit. Selebihnya, adalah tokoh-tokoh nothing. Cuma berita-berita kecil, mengharukan, dari orang-orang kecil. Orang-orang yang mengisi ruang bernama publik. Orang-orang yang sebenarnya dari publik itu sendiri. Orang-orang yang tak diberi tempat di ruang yang bernama publik.

Mereka disingkirkan. Mereka tak diberi ruang. Status nara sumber hanya sedikit memberinya tempat. Mereka tidak punya agenda setting. Apalagi untuk menyatakan permasalahannya sendiri. Soal-soal keseharian mereka cuma ada di kacamata elit-berita membuat sindrom: bad news ialah good news. Solusi persoalan mereka ada di tangan para pengamat, pemimpin partai, dan sedikit gosip “cek & ricek”.

Etika

Untuk itulah, dalam perkembangannya, jurnalisme mengembangkan persyaratan yang perlu ditambahkan (dan di-kode etik-an wartawan) dalam membuat berita. Hal ini terkait pula dengan fenomena kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Media harus melaporkan berbagai konflik yang terjadi di berbagai bangsa.

Jake Lynch menulis tentang Reporting the World: a practical checklist for the ethical reporting of conflicts in the 21st Century (2002). Ia memberikan beberapa unsur yang mesti dipenuhi dalam sebuah pemberitaan yang memiliki konflik sangat tinggi. Unsur-unsur ini diharapkan menjadi pertimbangan wartawan dalam menyiapkan, menyunting, membuat atau menulis berita tentang konflik.

Beberapa unsur pertimbangan itu, antara lain, adalah:

1. Bagaimana kekerasan harus dijelaskan?

§ Bagaimanakah menjelaskan secara bijak kekerasan tersebut ketika dilaporkan?

§ Apakah kekerasan itu langsung dilaporkan secara klasik “blow-by-blow”?

§ Atau, dengan memperlihatkan dampak kekerasan struktural dan kultural itu pada kehidupan orang-orang yang terlibat?

§ Apakah dijelaskan pula, secara sederhana, ihwal ketidakberfungsian, yang memproses terjadinya pengondisian kekerasan tersebut?

§ Apakah penjelasan itu juga menyimpulkan apa-apa yang sebenarnya atau mungkin terjadi nanti?

2. Seberapa tajamkah konflik yang terjadi?

§ Apakah konflik ini berada dalam kondisi “tarik-menarik kepentingan” pertarungan hidup – mati antara dua kelompok demi tujuan yang sama sehingga jika satu pihak menang, lainnya kalah?

§ Atau , seperti “ayunan kucing” (a 'cat's-cradle'): sebuah pola dimana banyak kelompok saling-tergantung kebutuhan dan kepentingannya, secara tumpah-tindih; atau berkemungkinan untuk diberikan solusi yang bersifat integral?

3. Adakah pemberitaannya menyisipkan pula upaya atau gagasan yang sifatnya menyelesaikan konflik?

§ Adakah di dalam liputan disiratkan rencana perdamaian, alternatif gagasan atau bayangan akan solusi?

§ Haruskah aspek-aspek berita ini menunggu sampai para pemimpin menghentikan “kesepakatan”?

§ Apakah liputan yang berisi tentang kesepakatan yang terjadi dapat membantu pembaca, atau khalayak, untuk ikut menangani penyebab kekerasan?

§ Apakah laporan menyebutkan orang-orang lain, selain para pemimpin dan petugasnya, ikut menangani penyelesaian konflik?

4. Apa peran “wartawan” dalam pemberitaan?

§ Apakah ada pesan tersurat, atau tersirat, tentang “pelbagai pihak yang merasa tidak OK selama kesepakatan belum tercapai”?

§ Adakah laporan menyarankan intervensi tengah dilakukan, sebelum kesepakatan dicapai?

§ Adakah pengujian terhadap pengaruh intervensi yang tengah dilakukan, dan hasilnya, pada perilaku orang-orang?

§ Apa dasar pertimbangan memilih suatu intervensi yang menyarankan suatu solusi, atau memilihnya dari beberapa macam intervensi?

Pelbagai unsur checklist ini diharapkan dapat membantu para wartawan, produser dan redaktur di dalam mengerangka pelaporan “konflik yang tengah dihadapinya. Juga, untuk mengukur emosi-diri dan kesiapan psikologis, selama meliput, agar dapat melakukan reportase secara efektif.****