Rabu, 29 September 2010

Tua


Di usia mendekati 50, banyak orang berkilah, menolak sesuatu bernama tua.
Caranya: pura-pura tak mengerti ada tubuh yang meriput, ada wajah yang melorot, ada langkah yang meletoy, ada hari yang meraut: wajahMu.
Maka itu: aku pun pura-pura tak kenal dengan hari bernama “ulang tahun”. Aku pura-pura berkata, hai apa kabar. Sudah lama menunggu. Maaf yaa ….
Tapi, ketika kusapa, ia malah tertawa:
“Loh. Siapa anda.…,” ia malah bertanya.
“Bukankah anda,” Tanya ku.
“Maaf, saya waktu yang tak mengenal siapa-siapa….”

9/6/2010 1:53:32 PM

Rabu, 01 September 2010

Tukang Masak: This is it !

Pagi itu suaramu menjadi awan yang mengelilingi dapur. Tungku mendesis-desiskan suara sup panas. Mata, jeroan, sampai kaki: meminta segera. Ayam kampung, terbujur malu, di talenan.


This is it !” serumu.

Suamimu buru-buru menaburi merica ke dalam resep masakan, siaran tivi kuliner, bahkan jamuan makan istana negara.

Ini gara-gara kemarin malam, ia mendapat kabar dari dapurmu. Ayam itu mengajak bicara empat mata cukup lama.

“Sebagai suami, kau harus pintar menguliahi istri tentang hak asasi hewan yang ingin mati terhormat di dalam perut manusia. Bukan. Bukan ingin masuk surga. Bukan menolak takdir….

“Tapi kami juga punya perasaan. Ingin jadi makanan apa, dengan rasa apa, berikut dengan harga berapa ! ”

Sapi berdiri mendelik terus-terusan diajak jadi tenderloin. Tak sudi melulu menunggu di kulkas. Kambing berkacak pinggang, menggeleng-geleng kepala bila cuma disate. Ikan dan cumi meradang oleh minyak goreng yang tiap hari mengajak kencan. Udang marah-marah disuruh jadi penghias jamuan melulu ....

“Itulah kehormatan dunia kami….
“Beritahu istrimu ! ”

Di pertemuan itu, hadir engkol, daun seledri, bawang, cabe merah dan adiknya rawit, serta tumbuhan lainnya, menjadi saksi.

9/1/2010

Jumat, 27 Agustus 2010

Parlemen

setiap orang membungkuk

saat kelelawar masuk
ke ruang gaduh berseru-seru,

oleh banyak atribut
oleh saling sikut
oleh mulut kalang kabut

Burung garuda di sudut
menggigil ngilu


2/2/2010

Sabtu, 07 Agustus 2010

KORPORAT MEDIA: A Club Culture

Mengapa korporasi masuk ke dalam bisnis media? Ini karena bisnis telah menjadi bagian hidup kita. Bisnis telah jadi pertunjukan, sebuah drama tentang kehebohan dan petualangan. Para aktornya, menurut Melewar dan McCann (2004), adalah berbagai perusahaan yang menggunakan citra atau aksi sebagai drama dan intrik untuk menarik masyarakat.

Bagaimana kita memahami Infotainment, misalnya, jadi bisnis yang
menyihir publik terbengong-bengong, tak bisa beranjak, menatap selebritas
tersedu-sedu atau terbahak-bahak, memaki-maki atau memuji-muji (diri sendiri
atau orang lain)? Jawabnya, antara lain, ialah: selamat datang di dunia KORPORAT MEDIA: A Club Culture.


Kini, jaringan korporasi bisnis media telah jadi intrik di di dalam kehidupan sosial dan ekonomi, bahkan politik.

Beberapa pengamat menjelaskan lewat lanskap dunia contemporary cultural producers. McRobbie’s (2000) merujuk sejumlah teori sosial reflexivity, network cultures, governmentality, and individualization sebagai bagian dari kegiatan cultural economy.
Perkembangan tekknologi komunikasi memberi wadah. Sistem komunikasi menjadi cair ke berbagai medium. Dari sanalah, digariskan fase network society, dan perubahan markets berikut buruh, manajemen, dan unit bisnis yang saling berjejaring, dan berkoporasi.

Kapitalisme memroses restrukrisasi orientasinya ke dalam fleksibilitas manajemen, dan desentralisasi. Jejaring perusahaan, secara internal, pun jadi bisa intim berhubungan dengan perusahaan lain (Castells, 1996). Ini berarti kerja penyempurnaan marketing and selling, understanding stakeholder needs, problem solving, designing and deploying effective solutions, and communicating, dari manajemen "korporate" media.

Bisnis media pun berubah jadi mahluk ganas dalam mencari "ceruk" pasar.

Pasar itu ialah pasar informasi, yang kini kian lalu lalang dengan cepat dan merangsak. Tiap publik diserang berbagai channel informasi, di tiap waktu "jaga"-nya. Inilah realitas ekonomi di fase kultur industri berbasis teknologi komunikasi.

Teknologi komunikasi membuat media jadi dapat melayani publik “di mana saja, kapan saja, dan siapa saja”, bisa bercakap-cakap, atau mencari informasi. Imbasnya, menurut Gates (1996) and Negroponte (1995), publik pun terpuruk dalam arus bisnis korporat media massa. Korporasi media massa mengoplos masyarakat (tanpa sadar) ikut serta mengolah kreasi, koleksi, distribusi "keong racun" (contoh) jadi bisnis informasi.

Masyarakat menjadi stakeholders. Masyarakat jadi sehimpun kompetensi yang harus dihitung. Diukur, misalnya: kapasitas local and global environments-nya, skill komunikasinya, dan orientasi peminatannya. Hitungannya tertuju pada raihan iklan. Tiap unit media-korporasi mesti mengkalkulasi nilai informasi: yang diminati iklan.

Ekspetasi korporat media menjungkirkan kenangan lama tentang pers sebagai Anjing Penggonggong .

Bagi jurnalisme, ini merubah pola gatekeepers, para penjaga gawang berita. Mereka tidak lagi cuma duduk bertopang kaki. Pengelola media harus berjumpalitan mencari, menelusuri, dan mengkalkulasi, sampai dimana kekuatan isu dan isi berita. Masyarakat menjadi ladang kalkulasi sampai berapa jauh dapat ditembus.

Tak pelak lagi, upaya korporasi media massa menjadi satu lahan yang dibentuk dan dijajagi sebagai sebuah manajemen bisnis. Dimensi egalitarian dan kolaborasi distrukturisasi sebagai kekuatan bisnis informasi. Sifat-sifat links yang menghantarkan email kita terkirim ke berbagai medium, diraih korporasi media ke dalam penghantaran pemberitaan yang bisa menjambangi berbagai khalayak di berbagai jenjang.

Jejaring korporasinya meminta produk jurnalismenya harus memainkan dengan cermat dan jeli unsur-unsur berita, seperti Immediacy, Proximity, Consequence, Conflict, Oddity, Sex, Emotion, Prominence, Suspense, dan Progress. Berbagai komponen ini, misalnya, dijelajahi ke ekspektasi minat dan kepentingan khalayak.

Tapi, jangan cuma sekadar mencari laba, masuk ke dalam putaran finansial semata.

Artinya, mutu produk pemberitaan jurnalistiknya tetap dalam standarisasi quality control tertentu. Ekspetasinya, dengan demikian, berada dalam garis korporasi yang menjelajahi ruang “minat dan perhatian” privacy khalayak, namun dengan acuan standarisasi “nilai” produk jurnalisme yang baik.

Pada titik inilah, diperlukan upaya manajemen media
korporasi yang terus-menerus bisa “focus more on activities designed to
transform information into knowledge
,” saran Dhir and Harris (2001) ketika
mengemukakan the demand for new corporate competencies. Para pekerja
media (di jenis infotaintment atau crime, misalnya), harus mau
mengukur keuntungan publik, yang lebih maslahat.


Bukan yang mudlarat. Bukan cuma mengukur keuntungan bisnis dan duit: dalam, "analysing, interpreting, and evaluating activities that drive the decision-making process.” Bukan hanya terus-terusan mencari persepsi, experience, atau interes publik yang menguntungkan kekuatan bisnis media semata: dalam adukan programa to entertain dan to inform semata. .
Masyarakat itu juga mesti diberi new time horizons. Horison waktu yang dikerangka korporat-media mesti membuat capaian “continuing education emphasize intellectual capacity and professional development” di dalam produk informasinya. ***

Jumat, 23 Juli 2010

MENULIS ILMIAH (metodologi) KUALITATIF: Edisi K e d u a

Kehidupan manusia modern banyak dikelilingi berbagai “kisah”. Setiap hari, mereka berpapasan dan bertemu dengan berbagai kisah. “Kita bersimpati, dan mengembangkan pemahaman tentang kehidupan, ketika kita mendengarkan banyak kisah,” ujar Brophy (2009).


Di abad ini, banyak kisah menghilangkan “pengetahuan dan kebijaksanaan”, dari generasi ke generasi. Selain itu, menghilangkan “pengalaman” sebagai basis pengetahuan, dan nilai-nilai kemanusiaan. “Kisah-kisah” itu menjadi subtil, menyembunyikan “setengah irama” kemanusiaannya. Kisah-kisah itu dikalahkan oleh pesona “statistic” kehidupan modern


Banyak pihak lalu membangun kembali hubungan narrative and knowledge. Naratif dijadikan kembali sebagai sebuah kunci pengetahuan, a key form of the knowledge they are seeking to capture and share. Di masa lalu, pengetahuan dan naratif amatlah intim, memiliki kedekatan konsep, bahkan menjadi jalan orang berkomunikasi. Tapi, di dunia modern, khususnya selama setengah Abad 20, terjadi pemisahan. Naratif, dan terutama “kisah”, dipisahkan secara “keras”.


Bagi dunia akademis, konsep naratif, dalam pengisahan (storytelling) ini, sebenarnya bukan hanya memaparkan fakta-fakta. Akan tetapi, lebih kepada “memaknakan” pengalaman kehidupan kemanusiaan kita. Pemaknaan yang tidak boleh dikerangka secara semena-mena, melainkan harus “dimaknakan dalam kesadaran akademis: kewaspadaan seorang “pengisah” akademis. Pengisah akademis yang membedakan penulisan: “you can research the story, or you can story the research.”


Pada sisi inilah, unsur storyteling bermain. Creswell (1998) mengusulkan gaya Narative Report. “Di mana para penulisnya menggunakan ‘metafor’ untuk menggambarkan keseluruhan laporan atau studinya”. Dalam kaitan Riset Kualitatif, pengisahan naratif dilakukan berdasar kerangka yang bersifat teknis, metodis, sampai asumsi filosofis, paradigmatis, atau metodologis. Secara sederhana, pengisahan narartif melaporkan “pengalaman” kemanusiaan itu secara tidak linier.


Hal ini didorong oleh saling pengaruh antara science dan sastra, di sepanjang abad 20. Kalangan ilmuwan mendekonstruksi penulisan ilmiah (positivistic). Clifford Geertz (1983) menyatakan banyak riset filsafat tampak seperti studi sastra. Bagaimana risalah teoritis ditulis bagai kisah travelog (Levi-Strauss). Argumen ideologis disusun bagai historiografis (Edward Said). Studi epistemologis dibangun bagai esai politik (Paul Feyerabend). Polemik metodologis muncul sebagai memoar pribadi (James Watson).


*****


Maka itulah, laporan Kualitatif dipenuhi deskripsi detil, penuh warna, dan kelenturan sajian. Laporan kualitatif memberi perasaan kepada pembaca, mengenai pelbagai peristiwa dan orang-orang tertentu dari seting sosial yang konkrit. Mereka memusatkan perhatian pada soal-soal seperti sub-sub kultur the others, atau seorang aktor sosial yang ingin masuk ke lingkungannya. Mereka melaporkan kejadian-kejadian riil, omongan-omongan orang (melalui kata-kata, gerak-gerik, dan nada-nada bicara), kelakuan-kelakuan unik, dokumen-dokumen tertulis, atau imaji-imaji visual. Semuanya mengimplikasikan aspek-aspek konkrit kehidupan.


Penulis kualitatif melaporkan meaning of events. Laporannya mengamati berbagai kejadian dan interaksi dari tempat kejadian. Tujuan akhir tulisan kualitatif ialah memahami apa yang dipelajari dari perspektif kejadian itu sendiri, dari sudut pandang kejadiannya itu sendiri. Penulisannya mengulik momen-momen when dan how pengalaman “si subjek”. Nara sumber dan peneliti, antara lain, sama-sama memroses researching and writing, thinking and doing sesuai Fokus Penelitian. Peneliti Kualitatif menjadi orang yang belajar “sambil jalan”. Apa yang ditemukannya, ialah apa yang dipelajarinya.


Peneliti mencari sekumpulan representasi”: dari lapangan, wawancara, pembicaraan, fotografi, rekaman, dan catatan pribadi. Riset Kualitatif menjadi sebentuk pekerjaan interpretif, pendekatan naturalistik: berdasar kenyataan atau keadaan yang terjadi, mencoba menjelaskan, atau menginterpretasikan, “pemaknaan”. Di dalam laporannya, akhirnya peneliti bukan lagi menjadi petugas pelapor”. Peneliti akhirnya menjadi “seorang kreator”. Sosok “saya” (peneliti) hadir di laporannya. “Saya” di sini ialah “Orang Pertama yang melaporkan pandangan, amatan, dan kajiannya. Ini sepersis dalil understanding follows doing.


***


Saya melihat banyak mahasiswa (sarjana, magister dan doktoral), serta pengelola fakultas, yang membahas penelitian Kualitatif. Ketika buku Menulis Ilmiah Kualitatif Edisi Pertama terbit, saya berbahagia mendengar mereka mendapat penjelasan: bagaimana menerangkan pelbagai peristiwa dan orang, bagaimana mengkonkritkan deskripsi seting sosial, dan bagaimana melaporkan temuannya secara naratif, dst.


Dan, diam-diam, mereka memberi “energi”. Saya tergugah secara multidimensi: untuk menyempurnakan Edisi Kedua buku Menulis Ilmiah (metodologi penelitian) Kualitatif ini.


Maka itulah, pada “Edisi Kedua” buku ini, saya menjelaskan penulisan ilmiah dengan beberapa perangkat dan hal-hal teknis metodologis (Kualitatif). Saya menjelaskan bagaimana planning, writing, editing and reviewing”, dengan sisipan literasi metodologis di sana-sini. Saya coba mengembangkan ke pelbagai dimensi prosa intelektual yang unik, yang punya subjektifitas sudut pandang menarik, paparan naratif yang emotif, sampai upaya-upaya kreatif lain.


Selain itu, saya coba mendeskripsikan berbagai teknis penulisan seperti Menangkap Topik, Menulis Judul, Menulis Statement of The Problem, Struktur Naratif, Mengalurkan Tulisan, Bahasa Kualitatif, dan Penulisan Akademis. Buku ini juga memberikan contoh-contoh bagaimana mengalurkan laporan ilmiah ke dalam jenis-jenis tulisan tertentu. Tiap klasifikasi digambarkan bentuknya, dan dicoba-contohkan.


Pada buku “Edisi Kedua” buku ini, saya juga melakukan beberapa upaya: mengoreksi, meringkas, menambahkan, dan mengubah outline. Mengoreksi: misalnya, beberapa salah cetak, atau mengubah padanan kata/istilah. Meringkas: antara lain, di beberapa contoh laporan riset di “Edisi Pertama” yang dinilai terlalu panjang dan longgar. Menambahkan: di beberapa bab-bab, bahasan yang memberi ketajaman, kedalaman, dan keluasan tertentu. Mengubah outline: di beberapa bagian dan isi bab. ****