Kamis, 21 Februari 2008

FO Menyoroti Kegilaan Komunikasi Kita

Dario Fo memang jeli. Fo, seakan melanjutkan ranah Italian commedia dell’arte, ke wajah komunikasi kita saat ini. “Advertising! Jam demi jam menyiksa otakku untuk memikirkan cara membikin orang mau membeli barang-barang tak berguna”, serunya pada orang iklan yang diburu-buru tengat pesanan perusahaan yang ingin produknya laku di pasar, dan perusahaannya naik ke bursa saham.

Nada mengejek ini khas satiris orang-orang yang sinis pada industri. Tapi, kesinisan ini dibawakan bukan sekadar menolak. Tapi, lebih dari itu. Saya terpesona pada kejeliannya menangkap kegilaan di pojok-pojok komunikasi manusia modern yang mencoba mengindustrikan tiap keping pesan. Dan, kerap menghancurkan retorika interpersonal kita ke dalam kesepiannya manusia dikapitalisasi.

Membaca beberapa naskah Dario Fo (dalam terjemahan Indonesia), yang lahir di Leggiuno-Sangiano, Italia, pada 24 Maret 1926, memang menangkap satiris Italia yang meraih Nobel Prize for Literature pada 1997. Pada Fo, tentu saja bukan sekadar penghargaan Nobel, melainkan ada gaya teatrikal yang menyentil ruang kehidupan kita, seperti komunikasi sosial kita, dengan satir yang menyengat. Dan, kita tahu: ada kegilaan yang mesti dicermati.

Dunia komunikasi punya kegilaan tertentu. Orang kehilangan mata, telinga, hidung, dan perasaan, bahkan nalar ketika keruwetan semakin menghimpit. Orang kerepotan mencari kontrol bagi dirinya.

Dario Fo punya cara menampilkannya. Melalui kesepian pekerja iklan (advertising), pasien sex, filem televisi, polisi neurotik, dinding kamar, suami-istri, dokter dst: digambarkan. Fo menyajikan psikedelik mereka. Fo melihat komunikasi bagai keruwetan lalulintas di saat macet. Semua menceracau, menggerutu, tapi tetap tak dapat jalan.

Misi utama komunikasi manusia ialah menjadi mahluk sosial. Untuk itu, tiap orang merancang strategi komunikasi yang efektif. Tujuan: agar bisa bermasyarakat dengan enjoy, tidak disebut alien atau bahlul oleh orang sekampung. Komunikasi dipahami, dan dilakukan, demi keberhasilan kita di dalam berinteraksi sosial.

Namun, ada ruang dan waktu NOL yang kerap menghadang. Kita suka kehilangan kendali pada titik-titik nadir momen dan ruang-waktu tertentu. Kita kehilangan eksistensi kemanusiaan. Kita terjebak dengan keruwetan menakar siapa kita, mengukur keakuan, dan menalar kita tengah apa. Pada saat itu, ruang dan waktu NOL, kosong, seakan hinggap di sekujur komunikasi manusia.

Fo mengajarkan, di dalam naskah ini, agar waspada. Kita mesti menyiapkan diri. Kita harus mampu mengendalikan partisipasi kemanusiaan kita, sepanjang hidup, untuk produktif dan terlibat di dalam kehidupan, di dalam bermasyarakat. Kita mesti tahu ada kemungkinan bolong, NOL, di dalam retorika sosial kita. Kita jangan bodoh menawarkan kepenatan kita pada telepon, televisi, perangkat audio, bahkan dinding kamar: sebagai media komunikasi. Kita mesti mencermati makna komunikasi interpersonal yang menjadi alat penghubung kita dengan keberadaan kita sendiri ketika berhubungan dengan sesama. Kita mesti sadar ada teater di dalam teater di dalam berkomunikasi sosial.

Sebagai mahluk komunikasi dan teatrikal di dalam kehidupan, ada ruang belajar yang mesti diupayakan saat memroses berbagai pesan (komunikasi) hendak dilakukan dan didesiminasikan. Ada perhatian yang harus diberikan pada berbagai peran dan panggung di saat proses komunikasi dilakukan. Tiap konteks komunikasi itu butuh analisis dan kekhasan; termasuk di dalamnya retoris kita, komunikasi interpersonal kita, dan penggunaan media, serta “teater” komunikasi (dramatugis) yang hendak dilakukan.

Sebab, di sana ada ranah disiplin kehidupan tertentu, seperti perspektif humanitas, artistik, dan sosial. Komunikasi terbangun dari kerangka kehidupan itu sendiri, yang diskematikan ke dalam pemahaman teoritik, melalui dinamika criticism of messages and practice and research. Di situ terbentang berbagai area komunikasi kemanusiaan kita yang tercacah kepada penguasaan kemampuan berkomunikasi di berbagai bidang seperti corporate communication, public relations, advertising, marketing, mass media, sales, public service dan the performing arts.

Fo menyoroti kegilaan komunikasi kemanusiaan kita. Ia menyentuh kita di saat kita berada di aktifitas ko-kurikuler kehidupan “komunikasi”. Ia memorakporandakan komunikasi kita tatkala berdebat. Ia menunjukan kekonyolan komunikasi kita ketika menggunakan media, dan di ruang-ruang media massa. Fo menunjukan “teater” komunikasi kita di pentas teater: bagaimana dramatugis-komunikasi di peran-peran front stage (tampak permukaan) dan back stage (di belakang panggung). Di naskah teater ini, Fo melihat kegilaan komunikasi kita pada dunia Interpersonal Communication, retoris, media, dan “dramatugis” (komunikasi).

Pada sisi inilah, saya ketakutan terjebak dengan kegilaan saat berkomunikasi. []

* Tulisan ini menjadi salah satu pengantar dan diskusi dalam pertunjukkan teater berjudul ”An Ordinary Day” di CCF Bandung, Feb 2008; lihat juga www.beritaseni.wordpress.com